Dua Menteri Jadi Tersangka Korupsi, DPR Nilai Bukti Revisi UU Tak Memperlemah KPK

Dua Menteri Jadi Tersangka Korupsi, DPR Nilai Bukti Revisi UU Tak Memperlemah KPK

Menteri Sosial Juliari P Batubara Saat Menyerahkan Diri ke KPK.

Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) beruntun belakangan ini membuktikan bahwa revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak membuat lembaga antirasuah itu melemah. KPK membongkar korupsi dana bansos Covid-19 yang menjerat Mensos Juliari Peter Batubara.

Sepekan lalu, KPK melakukan OTT terhadap seorang Menteri lainnya pada Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

"OTT terjadi beruntun belakangan ini membuktikan bahwa revisi UU KPK tidak membuat KPK lemah. Ini sekali lagi membuktikan mereka yang selalu berteriak-teriak di ruang publik bahwa dengan revisi UU KPK itu melumpuhkan atau membunuh KPK tidak benar," kata Arsul saat dikonfirmasi, dikutip Antara, Minggu (6/11/2020).

Wakil Ketua MPR RIitu menambahkan, banyaknya OTT atau tidaknya bukan dipengaruhi oleh Undang-Undang, tapi oleh sikap dan arah pemberantasan korupsi dari pimpinan KPK dan jajaran-nya.

"Tidak ditentukan oleh revisi UU, tapi oleh sikap dan arah pemberantasan korupsi dari pimpinan KPK dan jajaran-nya. Artinya apakah OTT akan jadi satu prioritas kebijakan atau tidak," tutur Arsul.

 

Mensos Juliari ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Juliari diduga menerima fee sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu.

Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengatakan, penerimaaan suap terhadap Juliari bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun untuk total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode. Untuk memuluskan itu, Juliari menerima fee dari tiap-tiap paket bansos.

"Untuk fee tiap paket bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpakat bansos," ujar Firli di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (6/12) dini hari.

Firli menyebut, pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, Juliari diduga telah menerima fee sebesar Rp8,2 miliar dari total uang Rp12 miliar yang diterima oleh Matheus. Uang untuk Juliari diberikan Matheus melalui Adi Wahyono.

Menurut Firli, pemberian uang tersebut dikelola oleh seseorang bernama Eko dan Shelvy N selaku Sekretaris di Kemensos yang juga orang kepercayaan Juliari. Uang itu digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Sementara untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos ini terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 milir. Firli menduga uang tersebut juga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

Kasus ini diungkap melalui operasi tangkapn tangan pada 5 Desember 2020 dini hari di beberapa tempat di Jakarta. Tim penindakan KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp243 juta).

Mensos Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso, dan Adi Wahyono, sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara Ardian I M dan Harry Sidabuke pihak swasta yang berperan sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews