Ratusan Pekerja Tambang Asal Kepri Masih Terjebak di Kepulauan Solomon

Ratusan Pekerja Tambang Asal Kepri Masih Terjebak di Kepulauan Solomon

Pertemuan BP2MI bersama keluarga para pekerja di DPRD Tanjungpinang, Sabtu (11/14/2020) sore. (Foto: Sutana/Batamnews)

Tanjungpinang - Sejumlah TKI pekerja tambang bauksit terjebak di Kepulauan Solomon, Oseania beberapa bulan terakhir. Mayoritas mereka berasal dari Provinsi Kepri, karena direkrut oleh agen yang berada di Tanjungpinang.

Akibat pandemi, aktivitas perusahaan menjadi dikurangi. Mereka pun mengambil opsi untuk dipulangkan, ketimbang harus mengalami pemotongan gaji. Namun hal itu tak kunjung terjadi hingga para pekerja itu terkatung-katung keberadaannya. Ada yang bertugas di kapal tugboat, ada juga yang bertugas di darat sesuai spesifikasi kerja masing-masing.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Tanjungpinang, Mangiring Hasoloan Sinaga menjamin mereka akan segera dipulangkan.

Pemulangan itu akan dilakukan bertahap. BP2MI meminta bantuan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Port Moresby, Papua Nugini untuk membantu melakukan pembicaraan dengan perusahaan, agar menyelesaikan kewajiban terhadap pekerja ini.

“Dari pendataan yang telah dilakukan oleh BP2MI Pusat, terdapat 123 orang TKI yang bekerja di Kepulauan Solomon. Sebagian besar dari jumlah tersebut berasal dari Kepulauan Riau," kata Mangiring.

Pihaknya menggelar pertemuan bersama keluarga para PMI/TKI dan Perusaahan Penyalur yang difasilitasi legislator DPRD Kepri, Rudy Chua di Kantor DPRD Kepri, Tanjungpinang, Sabtu (14/11/2020) sore. 

Pihaknya sudah melakukan upaya-upaya sesuai dengan mekanisme yang ada. Bahkan sudah berkomunikasi dengan agensi para pekerja ini yakni, PT. Bintan Meaning SI (BMSI) Ltd yang berkedudukan di Hongkong. 

PMI asal Kepri bekerja di Kepulauan Solomon penyalurannya melalui PT. Maharani Anugerah Pekerti (Magrati). 

“Dari penjelasan yang kami terima, bahwa sebagian PMI yang bekerja di sana ada sudah berakhir kontraknya pada September 2020 lalu. Kemudian yang lainnya masih berlanjut kontraknya, namun karena pandemi aktivitas perusahaan menjadi terhenti. Begitu juga dengan kemampuan perusahaan," tuturnya. 

Namun demikian, pihaknya terus melakukan upaya-upaya resmi melalui BP2MI yang diteruskan ke KBRI di Port Moresby. Sehingga ada solusi atas persoalan yang terjadi. 

Dikatakannya lagi, ia juga telah berkomunikasi dengan PMI yang ada disana, bahwa kondisi mereka sedang tidak baik, karena terbatasnya logistik yang tersedia. Terkait permintaan pulang PMI disana, saat ini sedang diupayakan oleh perusahaan pengguna. 

Apabila tidak ada halangan, pemulangan pertama akan dilakukan pada 17 November 2020 nanti. Namun karena kapasitas yang terbatas, tahap pertama ada 30 PMI asal Kepri yang akan dipulang lebih dulu.

“Untuk kepulangan selanjutnya tentu akan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Apabila kemampuan PT. BMSI Limited terbatas, tentu kita akan menggunakan kekuatan negara untuk membawa pulang PMI tersisa,” tegasnya. 

Sementara anggota Komisi II DPRD Kepri, Rudy Chua mengatakan, pihaknya hanya memfasilitasi keluh kesah keluarga PMI yang sedang bermasalah di Kepulauan Solomon. 

Ia berharap melalui pertemuan ini, masing-masing pihak bisa menyampaikan dan menjelaskan apa yang menjadi persoalan. Politisi Partai Hanura tersebut mengaku prihatin, karena gaji pekerja di sana sudah beberapa bulan belum dibayar. 

“Kita mengharapkan pihak-pihak terkait untuk mencarikan solusi dalam persoalan ini. Selain semua PMI bisa dipulangkan, tentunya apa yang menjadi kewajiban perusahaan pengguna jasa dapat menyelesaikan kewajibannya,” ujar Rudy Chua. 

Cerita ABK Kapal

Sebelumnya, seorang ABK Kapal Tugboat KKS 1281 bercerita tidak mendapat upah layak selama beberapa bulan terakhir. Mereka menunggu kepastian pihak agensi memulangkan mereka.

 

Eliasab Timisela mengatakan dirinya bersama 21 orang lainnya menunggu kepastian untuk dipulangkan. 

Pria yang akrab disapa Asto ini mengaku dia dan teman-temannya tidak mendapat gaji selama 3 bulan. Tak hanya itu, mereka juga tidak mendapat uang makan.

Makan mereka seadanya, minum pun menunggu hujan turun untuk airnya ditampung. Mereka menunggu kepastian pemulangan di atas kapal di tengah-tengah Pulau Solomon, Oseania.

"Saat ini gaji kami belum dibayar, sudah mau 3 bulan, uang makan di kapal juga perusahan belum bayar. Jadi kami harus cari seadanya untuk makan, minum juga tampung air hujan. Ini perusahaan kantor pusatnya di Hongkong, namanya BMC Minning, hak-hak kami masih digantung sama mereka, seperti uang premi bulanan sudah 4 bulan mereka belum bayar, juga uang trip dan lain-lain," ujar Asto kepada detikcom, Senin (28/9/2020) lalu.

Asto mengungkapkan kesulitan yang dia dan 21 rekannya alami selama berdiam diri dan menunggu ketidakjelasan di atas kapal. Cuaca ekstrem di Pulau Solomon menjadi kendala utamanya.

"Kami melapor ke KBRI sudah mau 2 bulan sampai sekarang nggak ada perkembangan," ucapnya.

Pria yang sudah bekerja selama 10 bulan menjadi ABK ini mengatakan awal mula masalah ini muncul ketika pihak agensi menyampaikan pada Agustus hingga Desember 2020 kapal mereka sementara tidak memuat barang-barang. 

Imbas dari itu, perusahaan akan mengurangi gaji mereka 50 persen. Jika menolak gaji diturunkan, maka akan dikembalikan ke Indonesia. 

Asto termasuk 21 rekan lainnya menolak kebijakan itu. Dan memutuskan ingin kembali ke Indonesia, namun hingga saat ini proses pemulangan tak kunjung terlaksana.

"Kami sudah tanda tangan penolakan pemotongan gaji 30 persen pertamanya, malah ada (lagi) surat edaran katanya dari Hongkong di potong 50 persen, kira-kira gitu," tutur dia.

"Kabar kami sekarang ya masih di kapal sambil tunggu penyelesaian hak-hak kami serta pemulangan ini," imbuhnya.

Dia berharap KBRI membantu masalah ini. Dia ingin dipulangkan ke Indonesia dan hak-haknya yang belum selesai dapat diselesaikan dengan bantuan KBRI. "Kami minta karena situasi gini kami sudah tidak bisa bertahan. Kami minta diselesaikan, kami punya hak-hak dan dipulangkan baik-baik lah," katanya.

"Kalau saya lihat , ini permainan agen di Tanjung Pinang. Kalau Hongkong nggak lah, soalnya kalau kami minta nomor hongkong, sana (agensi) alasan mereka nggak tahu, nggak pernah berhubungan apalah. Ini jelas-jelas Hongkong bayar gaji tapi rupiah, dia (kirim) ke Tanjung Pinang dulu baru Tanjung Pinang transfer ke rekening masing-masing," ungkapnya.

Menurut Asto, tidak hanya mereka yang di atas kapal yang bermasalah. Tapi masih ada sekitar 70-an WNI juga bermasalah yang terlibat dengan proyek perusahaan Hongkong ini.

"Untuk diketahui, ini bukan hanya orang kapal aja ini kami siemens side orang operator, shipper lowry ada 70 orang stand by di darat. Kami beda departemen, orang itu di darat kami di laut. Jadi nggak cuma 21 orang di kapal saja, di darat ada 70 orang bahkan 100. Kami pun nggak ada urusan Disnaker. Ada bagian-bagiannya, jadi aduan kami larinya ke bandar dan perhubungan laut kalau Disnaker nggak," ujar Asto.

"Intinya kami mau habiskan kontrak di sini, tapi gaji lambat makanya nggak bisa di pertahankan lagi," pungkasnya.
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews