Penjualan Pil Aborsi Melonjak di Tengah Pandemi Corona

Penjualan Pil Aborsi Melonjak di Tengah Pandemi Corona

Ilustrasi

Jakarta ‐ Seorang perempuan bernama Sally (bukan nama sebenarnya), yang tinggal di Texas, Amerika Serikat (AS), melakukan aborsi mandiri dengan membeli pil secara online. Hal itu dilakukannya karena Texas melarang aborsi untuk sementara waktu di tengah pandemi virus corona.

"Pil itu dikemas dalam amplop manila kecil dan hanya berisikan lima bungkus pil. Tidak ada instruksi," kata Sally seperti dilansir AFP, Minggu (10/5/2020).

Sally yang saat ini berusia 34 tahun tidak pernah menyangka dan membayangkan sebelumnya bahwa ia akan melakukan aborsi mandiri. Keputusan itu ia ambil setelah berpisah dengan pacarnya.

Aborsi mandiri merupakan perbuatan ilegal. Namun, semakin lama semakin banyak perempuan yang harus menghadapi kenyataan sulit di tengah penyebaran penyakit covid-19.

Sally menjelaskan bahwa tidak mudah untuk mendapatkan pil aborsi. Ia baru berhasil mendapat pil aborsi pada situs ketiga yang dibuka dengan harga US$250.

Saat membeli pil, Sally sudah telat datang bulan 10 pekan sejak datang bulan terakhirnya. Kurun waktu tersebut merupakan batas untuk melakukan aborsi di AS.

"Saya sangat ketakutan," kata Sally.

Ia kembali mencari informasi di internet untuk melakukan aborsi mandiri. Kemudian, ia menenggak pil pertama bernama mifepristone, yang dikenal dengan RU-486 di AS, untuk menghentikan perkembangan kehamilan.

Setelah itu, ia minum empat pil bernama misoprostil yang memicu aborsi sebenarnya. Kemudian, Sally minum obat penghilang rasa sakit. Ia sempat melewati malam hari dengan kondisi yang sangat buruk hingga pendarahan. Hal itu sudah ia prediksi sebelumnya dan pada keesokan hari ia merasa lega pil tersebut bekerja dengan baik.

"Sudah pasti saya lebih suka bila ada pengawasan medis," tutur Sally.

Sally bukan satu-satunya perempuan yang melakukan aborsi mandiri. Meski termasuk perbuatan ilegal, sejumlah perempuan menceritakan pengalaman di forum Reddit.

 

Penjualan Meningkat

Sebenarnya, hak seorang perempuan untuk melakukan aborsi dilindungi oleh keputusan Mahkamah Agung AS di Roe v Wade. Namun, pada masa normal sebelum pandemi hak perempuan terancam pada beberapa negara bagian AS yang cenderung konservatif.

Beberapa negara bagian AS justru memanfaatkan krisis akibat virus corona untuk kampanye pelarangan aborsi. Kendati begitu ada situs onilne benama Plan C yang merekomendasikan delapan vendor online yang menjual pil aborsi yang sudah teruji pada 2018 lalu.

Seorang penjual online yang tidak ingin disebut namanya mengatakan bahwa penjualan pil aborsi di AS meningkat 150 persen pada April bila dibandingkan Maret. Kemudian, kunjungan ke situs Plan C meningkat dua kali lipat.

Salah satu pendiri Plan C, Elisa Wells, mengatakan ada 900 ribu perempuan yang melakukan aborsi setiap tahun di AS. Sebanyak 40 persen melakukan aborsi secara medis dan 10 ribu perempuan melakukan aborsi tanpa tindakan medis konvensional.

Para ahli berpendapat bahwa aborsi menggunakan pil mifepristone dan misoprostol aman. Komplikasi akibat pil tersebut hingga membutuhkan tindakan medis jarang terjadi.

"Pada 2020, di AS, kekhawatiran terhadap aborsi mandiri bukan soal fisik tapi soal hukum," kata executive director If/When/How, Jill Adams.

Pernyataan Adams membuat perempuan yang ingin melakukan aborsi berhubungan dengan pengacara. Dari pertengahan sampai akhir Maret, telepon yang masuk ke If/When/How meningkat dua kali lipat dari biasanya.

Sampai saat ini, ada lima negara bagian AS yang memiliki aturan khusus yang melarang aborsi mandiri. Lima negara bagian tersebut adalah Arizona, Delaware, Idaho, Oklahoma dan South Carolina.

Tapi, perlindungan terhadap perempuan di negara bagian lain tidak lebih baik ketimbang lima negara bagian setempat. Beberapa jaksa setempat menggunakan aturan hukum lain untuk menjerat mereka, seperti larangan praktik kedokteran tanpa lisensi.

Bahkan beberapa menuduh perempuan telah melakukan pelecehan terhadap anak, atau melanggar aturan yang berkaitan dengan narkoba.

Pada akhir Maret, 21 negara bagian meminta pencabutan pembatasan hukum untuk mengirim mifepristone melalui pos. Menurut mereka pembatasan itu membatasi wanita yang menggunakan telemedicine dan memaksa perempuan tidak bisa berpergian meski ada imbauan tidak keluar rumah.

Untuk mengakali birokrasi AS, situs yang menjual pil aborsi dioperasikan dari luar negeri.

Organisasi Aid Access menawarkan pil aborsi dengan harga paling mahal seharga US$90 per dosis. Aid Access merupakan satu-satunya organisasi yang memiliki supervisi medis dari dokter asal Belanda dan aktivis Rebecca Gomperts.

Dalam satu tahun terakhir, Gomperts tengah berperang dengan Food and Drug Administration AS. Lembaga AS tersebut meminta Gomperts berhenti memberikan bantuan abosri melalui telemedicine.

Saat ini, pandemi corona menghalangi kegiatan Gomperts. Ia tidak bisa mendapatkan pil dari India karena semua bandara ditutup.

Sementara, penjual pil aborsi lain masih mendapatkan pasokan dari Rusia. Namun, ia memperkirakan kehabisan stok dalam beberapa pekan ke depan.

Satu-satunya layanan yang memiliki wewenang di 13 negara bagian AS adalah TelAbortion yang sudah beroperasi sejak 2016 dan bekerja sama dengan sekitar 700 perempuan. Pada Maret dan April perempuan yang menghubungi mereka naik dua kali lipat dari bulan sebelumnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews