Masa Kelam Indonesia di Balik Kisah Anwar Congo yang Menggoncang Nalar

Masa Kelam Indonesia di Balik Kisah Anwar Congo yang Menggoncang Nalar

Sekuel adegan film The Art of Killing.

Batam - Anwar Congo meninggal dunia di usia 78 tahun, Jumat (25/10/2019). Nama pria asal Medan ini sempat bikin gempar Indonesia ketika menjadi tokoh utama dalam film dokumenter The Act of Kiliing (Jagal).

Film dokumenter tersebut menggoncangkan nalar generasi muda Indonesia saat ini. Di dalamnya menggambarkan betapa kejam dan kejinya masa kelam Indonesia di masa lalu

Di tengah rintik hujan Anwar Congo dimakamkan. Para kerabat sebelumnya ramai melayat di Jalan Sutrisno, Gang Sehati, Kecamatan Medan Area. Anwar merupakan tokoh dan sesepuh dalam organisasi Pemuda Pancasila.

Mengulik kembali Kisah Anwar yang dibicarakan usai Film "The Act of Killing" atau "Jagal" menarik untuk diperbincangkan. Film itu bercerita tentang eksekusi anggota PKI tahun 1965 dan masuk nominasi film dokumenter terbaik Oscar 2014.

Pembuat film ini berhasil membujuk para "jagal" termasuk Anwar Congo untuk menceritakan pembantaian kader PKI. Bagi sutradara Joshua Oppenheimer, terpilihnya film itu sebagai salah satu nominasi Oscar lebih dari sekadar penghargaan kepada sineas.

Ia berharap film itu juga bisa membuat masyarakat semakin kritis menuntut keadilan dari para pemimpin yang melakukan kejahatan, baik itu genosida atau korupsi.

"Hanya beberapa bulan dari sekarang, rakyat Indonesia akan berangkat ke Tempat Pemungutan Suara untuk memilih presiden baru. Dengan salah satu calon kuat yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dan masih diteruskannya glorifikasi sejarah genosida untuk membangun iklim ketakutan, ada risiko nyata bahwa negeri ini akan mundur kembali ke kediktatoran militer," kata dia dalam siaran pers menjelang Pilpres.

Berikut fakta tentang Anwar yang dilansir Batamnews dari beberapa sumber:

 

Lahir di Medan

Foto: Poskota

Anwar Congo lahir di Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatra Utara, 19 Februari 1937 – meninggal di Medan, 25 Oktober 2019 pada umur 78 tahun. Ia adalah seorang pria asal Medan yang dikenal karena tampil dalam film dokumenter Jagal. Lahir pada tahun 1940, Anwar hanya meraih pendidikan sampai kelas IV di SD Taman Siswa, Medan.

Awalnya hanya bernama Anwar, nama Congo diberikan karena sempat akan ikut misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Kongo, namun batal.

Anwar mengaku merasa ditipu dengan Joshua Oppenheimer selaku sutradara film Jagal karena judul yang diberitahukan kepadanya pada awalnya adalah Arsan dan Aminah. Namun Oppenheimer menyangkal bahwa dirinya telah menipu siapapun.

Oppenheimer sendiri mengatakan bahwa dirinya dekat dengan Anwar, dan pernah melakukan telewicara lewat Skype. Selain itu, sebuah petisi juga sempat muncul di change.org untuk menangkap Anwar namun Kapolri, saat dijabat Jendral Sutarman menyatakan bahwa kasusnya sudah kadaluarsa.

 

Tentang film Jagal

Jagal (bahasa Inggris: The Act of Killing) adalah dokumenter menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.

Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge Sørensen, dico-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten Brink, dan Andre Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas Westminster.

Film Jagal memperoleh berbagai penghargaan, diantaranya Film Dokumenter Terbaik pada British Academy Film and Television Arts Awards 2013 dan nominasi Film Dokumenter Terbaik pada Academy Awards ke-86. Sementara itu, film pendukung dari Jagal, berjudul Senyap ("The Look of Silence") diluncurkan pada 2014.


Pemimpin pasukan pembunuh

Dilansir dari Wikipedia, setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh.

Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.

 

Kekejaman masa lalu

Dalam Jagal, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota Pemuda Pancasila.

Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal.

Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

 

Berawal dari Preman

Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.

Pada tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan).

Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood.

Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

 

Cerita tentang pembunuhan massal

Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari pada masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.

Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.

 

Membunuh PKI ala gangster

Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.

Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan pada masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini.

Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.

Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.


Produksi film Jagal

Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara antara 2005 sampai 2011. Pada rentang waktu yang sama, awak film juga mengambil gambar untuk film Senyap yang dirilis sebagai sekuel dua tahun setelah Jagal. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman.

Diperlukan banyak editor dan waktu dua tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia. Sutradara Errol Morris dan Werner Herzog menjadi produser eksekutif film ini setelah menonton sebagian footage dalam proses pengeditan.

Film ini di putar perdana secara internasional di Toronto International Film Festival pada bulan September 2012. Di Indonesia film ini diputar perdana di Jakarta pada 1 November 2012. Film Jagal lewat pemutaran berbasis inisiatif masyarakat, sampai bulan Agustus 2013, telah diputar pada lebih dari 1.000 pemutaran di 118 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Sebagian besar pemutaran diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas, dan hanya 25 pemutaran diselenggarakan secara terbuka.

Diperkirakan antara 15.000 sampai 25.000 orang Indonesia telah menontonnya. Di Indonesia film ini tidak diperdagangkan sehingga setiap orang bisa mengadakan pemutaran tanpa harus membayar biaya lisensi, royalti, ataupun biaya pemutaran (screening fee).

Mulai 30 September 2013, film Jagal dapat diunduh gratis dari Indonesia lewat situs resminya. Pada 16 Januari 2014, bersamaan dengan diumumkannya film Jagal sebagai nomini piala Oscar (Academy Awards), pembuat film mengunggah filmnya ke YouTube.

Pengakuan Anwar

Pada September 2012 lalu, dikutip dari merdeka.com begini pengakuan Anwar

Berapa usia Anda saat membasmi anggota PKI?
Sekitar 25 atau 26 tahun. Jadi ketika itu badan betul-betul tegar.

Bagaimana Anda direkrut oleh siapa?
Saya direkrut oleh… bukan…ini kesadaran saya bersama teman-teman melihat kegiatan-kegiatan kaum komunis di Sumatera Utara kelewat memojokkan orang, seperti orang ada haluan-haluan. Ada haluan-haluan pada waktu itu, seperti pemusik dilarang karena haluannya ke Amerika. Kita sebagai orang jalanan, orang bioskop, ingin supaya bioskop itu tetap ramai, bisa dapat uang. Ini karena kesadaran sendiri.

Ada berapa orang ikut ketika itu?
Itu bukan perjuangan saya tok. Itu rakyat Sumatera Utara memang sudah gerah. Pas pula waktunya begitu, kita sama-sama bahu-membahu mencari siapa dalang-dalang mereka (PKI).

Apakah dulu Anda dilatih dan berapa lama?
Saya tidak pernah dilatih, hanya kesadaran berkawan.

Berapa Anda dibayar?
Tidak pernah ada bayaran.

Bagaimana biaya penghidupan Anda?
Penghidupan saya waktu itu hasil dari pasar gelap. Catut film. Kalau ada band-band dari Jakarta, mudah-mudahan kami bisa mencatut. Nanti donator-donatur bilang suruh jaga, kita jaga.

Berapa pendukung PKI Anda basmi dan di mana saja lokasinya?
Begini ya…kalau umumnya Medan, kalau jatuh ke tangan kami ya mudah-mudahan ... Tapi tidak (saya) satu orang, banyak kawan-kawan punya antusias. Di daerah-daerah lain juga hampir sama karena semua pada emosi.

Bisa ceritakan proses pembasmian Anda lakukan?
Pembasmiannya begini, melihat mana kalau dia itu tokoh-tokohnya. Kalau diperiksa pun dia masih menganggap dirinya hebat, dan dia pernah mengatakan dia mau mati demi Aidit (DN Aidit, Pemimpin PKI). Dia masih memakai yel-yel PKI, PKI Menang. PKI ini, PKI itu.

Kita bukan lihat faktor PKI-nya tapi komunisnya, ideologinya bertentangan dengan bangsa Indonesia. Kita itu mayoritas muslim. Sampai-sampai kita dulu pada masa jayanya (PKI) menyuruh membikin huruf L di depan rumah ulama-ulama. Dulu kalau (PKI) udah menang, (ulama) dikubur di situ. Jadi kita sebagai pemuda tiba-tiba panas. Itu gagasan-gagasan komunis menyuruh gali lubang.

Mana paling banyak Anda basmi, lelaki atau perempuan? tua atau muda (anak-anak)?
Nggak…pada waktu itu, laki-laki itu banyak karena mereka orang lapangan. Kalau perempuan diserahkan langsung ke Kodim. Kalau anak-anak kita lindungi dia.

Anda pakai senjata apa buat membasmi?
Nggak ada…spontanitas apa yang ada di badan. Ada yang kita lihat, itu saja.

Pertama kali membasmi siapa korbannya? Di mana? Jam berapa? Pakai apa?
Nggak pernah ingat saya. Pada umumnya mengerjakan begitu tengah-tengah malam, biar gampang membuangnya. Biar tidak ketahuan.

Apa Anda merasa ngeri saat membasmi pertama kali?
Nggak. Karena jiwa muda, itu tidak peduli. Apalagi kami itu orang bioskop, kadang kena minuman.

Apa bukti atau kenang-kenangan bahwa benar Anda ikut membasmi PKI?
Buktinya nggak ada karena kita juga nggak suka menyimpan begitu-begituan. Tidak ada foto hanya ada dalam ingatan saja.

(fox)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews