Relokasi Warga Pulau Rempang dan Dilema Investasi

Relokasi Warga Pulau Rempang dan Dilema Investasi

Rikson Pandapotan Tampubolon, S.E., M.Si.

Oleh: Rikson Pandapotan Tampubolon, S.E., M.Si.

Pulau Rempang, yang terletak di Kecamatan Galang, Kota Batam, kembali menjadi sorotan ketika ribuan warga dan aliansi Pemuda Melayu berkumpul dalam aksi unjuk rasa di kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada tanggal 23 Agustus 2023. Mereka dengan tegas menyuarakan penolakan terhadap rencana investasi yang berpotensi memarginalisasi dan menggusur kampung tua dan situs sejarah di Pulau Rempang.

Aksi demonstrasi yang berskala besar ini mencerminkan kekhawatiran mendalam warga terhadap relokasi yang diusulkan. Bagaimana tidak? Tiba-tiba (tanpa perencanaan yang matang) hendak digusur dari bumi yang memuliakan mereka. Tanah yang mereka tempati saat ini bukan hanya lahan biasa, melainkan tanah adat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya mereka. Selama berabad-abad, warga telah mewarisi dan menjaga kampung mereka, menjadikannya tempat yang penuh makna dalam sejarah keluarga dan komunitas mereka. Sebuah ironi bagi upaya menggenjot pembangunan.

Sebelum aksi unjuk rasa, pada Minggu tanggal 13 Agustus 2023, perwakilan warga dari dua kelurahan di Pulau Rempang bertemu dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, ketika beliau mengunjungi Kantor Kecamatan Galang. Dalam konteks ini, termasuk rencana yang digadang-gadang tentang pembangunan pabrik kaca dengan investasi sebesar 11,5 miliar dolar AS. Salah satu perwakilan warga, menjelaskan bahwa masyarakat mendukung pembangunan namun tetap menegaskan bahwa kampung tua mereka yang kaya sejarah tidak boleh digusur. Mereka berharap tempat tersebut bisa dijaga dan dilestarikan, jika perlu diperindah (23/8/2023, Liputan6.com).

Tinjauan Kritis Dampak Pembangunan

Pembangunan ekonomi dan infrastruktur sering dianggap sebagai tonggak utama menuju kemajuan suatu negara. Namun, di balik kilauan kemajuan tersebut, terkadang tersembunyi dampak sosial yang merugikan, terutama terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan kelompok etnik dengan nilai-nilai, budaya, dan cara hidup yang telah ada jauh sebelum pembangunan modern tiba. Sayangnya, sepanjang sejarah, banyak proyek pembangunan yang justru memarginalisasi dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Masyarakat adat memiliki pengetahuan unik tentang lingkungan, ekologi, dan cara hidup berkelanjutan yang telah teruji selama berabad-abad. Namun, sering kali pembangunan modern memaksa mereka meninggalkan pola hidup tradisional mereka untuk memberi jalan bagi proyek-proyek besar seperti yang terjadi di Pulau Rempang Galang Batam. Dalam prosesnya, pengetahuan berharga ini hilang dan lingkungan sering kali terancam oleh eksploitasi yang tidak berkelanjutan. Inilah pentingnya menjaga kehidupan berkelanjutan masyarakat adat yang terjaga.

Masyarakat adat sering kali memiliki ikatan mendalam dengan tanah leluhur mereka. Namun, banyak proyek pembangunan mengakibatkan pengusiran paksa masyarakat adat dari tanah mereka tanpa kompensasi yang layak. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam seperti hutan, laut-sungai, dan lahan pertanian oleh perusahaan besar seringkali merampas hak-hak tradisional masyarakat adat atas sumber daya yang telah mereka kelola secara berkelanjutan.

Pembangunan yang memaksakan gaya hidup dan nilai-nilai luar sering merusak keseimbangan sosial dan budaya masyarakat adat. Mereka terkadang terpaksa berhadapan dengan masalah seperti gaya hidup bebas, kehilangan bahasa dan tradisi, serta peningkatan angka kemiskinan. Kehilangan identitas budaya ini juga memiliki dampak psikologis yang serius pada generasi muda masyarakat adat.

Dalam banyak kasus, manfaat ekonomi dari proyek pembangunan tidak merata di antara masyarakat lokal dan perusahaan besar. Masyarakat adat sering dibiarkan dalam kondisi kemiskinan sementara hasil eksploitasi sumber daya alam yang mereka miliki menguntungkan pihak luar. Ketidaksetaraan ini hanya memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi.

Partisipasi Aktif Masyarakat

Penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi proyek pembangunan yang dapat mempengaruhi mereka. Partisipasi ini harus dilakukan secara inklusif dan adil. Atau dengan kata lain disebut dengan perencanaan partisipatif yang dalam tujuannya melibatkan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik secara langsung maupun tidak langsung).

Beberapa hal yang harusnya menjadi perhatikan kita yaitu: Pertama, Pengakuan Hak Tanah dan Tradisi: Pengakuan hukum atas hak tanah dan tradisi masyarakat adat harus diutamakan. Ini dapat mencakup pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat serta hak untuk mengelola sumber daya alam di dalamnya.

Kedua, Kompensasi yang Adil dan Pemuliaan Korban Terdampak: Jika terjadi pengusiran paksa atau eksploitasi sumber daya alam, masyarakat adat harus diberikan kompensasi yang layak dan adil sesuai dengan dampak yang mereka alami. Pemerintah harus memuliakan masyarakat yang menjadi korban dari pembangunan. Tidak lagi ganti rugi tetapi harus ganti untung. Toh pemerintah sudah pernah mempraktekkannya. Dan penting untuk selalu membangun pendekatan yang humanis dan berbudaya agar dapat mencapai win-win solution.

Bapak Presiden Joko Widodo pernah mempraktekkannya bagaimana ketika Jokowi menjadi walikota Solo  yang berhasil memindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL) Taman Banjarsari tanpa menimbulkan bentrokan fisik sama sekali melalui diplomasi meja makan yang dilakukan puluhan kali.
Hebatnya, kepindahan para PKL itu pun diwarnai arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “Kleningan” khas Solo. Untuk menimbulkan kebanggaan para Pedagang Kaki Lima (PKL), Jokowi menghadirkan Prajurit Keraton. Uniknya,arak-arakan pesta para PKL ini ke lokasi baru, mulai dari konsumsi hingga hiasan saat arak-arakan dibiayai sendiri oleh para pedagang. Tidak ada acara yang instan mencapai karya monumental. Pak Presiden kita sudah membuktikan.

Ketiga, Pendidikan dan Pemberdayaan: Program pendidikan yang menghormati nilai-nilai budaya masyarakat adat serta memberikan keterampilan modern dapat membantu mempertahankan identitas budaya sambil memberikan peluang ekonomi yang lebih baik. Masyarakat korban terdampak harus menjadi tuan di tanahnya sendiri. Jangan sampai mereka menjadi korban dan penonton dari gegap gempita deru pembangunan.

Dilema Investasi Pembangunan

Investasi, sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi, sering menghadirkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, investasi memiliki potensi besar untuk memacu pembangunan ekonomi suatu daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperbaiki infrastruktur. Namun, di sisi lain, dampak negatif investasi tak bisa diabaikan. Proyek-proyek besar ini sering datang dengan konsekuensi sosial yang signifikan, terutama bagi masyarakat lokal.

Tanah yang ditempati secara turun temurun oleh masyarakat adat mungkin harus direlokasi atau bahkan digusur, merusak ikatan budaya dan historis mereka dengan tanah leluhur. Selain itu, perubahan lingkungan akibat investasi seperti polusi, penggundulan hutan, atau kerusakan ekosistem dapat memiliki efek jangka panjang yang merugikan bagi masyarakat local sekitar.

Dalam situasi ini, dilema nyata muncul. Pemerintah dan perusahaan harus mempertimbangkan dengan cermat manfaat ekonomi jangka pendek dengan dampak sosial dan lingkungan jangka panjang. Bagaimana memastikan bahwa investasi yang ditanamkan tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga masyarakat sekitar? Langkah-langkah mitigasi perlu diambil untuk meminimalkan dampak negatif, seperti pengadaan kompensasi yang adil bagi masyarakat yang terkena dampak dan upaya konservasi lingkungan yang serius.

Dalam menghadapi dilema ini, transparansi dan partisipasi masyarakat sangat penting. Keputusan investasi harus melibatkan warga setempat, memberikan mereka suara dalam proses pengambilan keputusan, dan menghormati hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam. Hanya dengan mempertimbangkan kedua sisi dari persamaan ini, kita bisa mencari solusi yang seimbang yang memungkinkan pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan kesejahteraan dan keberlanjutan masyarakat.

Kisah Pulau Rempang mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap identitas budaya serta hak-hak masyarakat adat. Relokasi yang diusulkan harus mempertimbangkan dengan serius implikasi sosial, budaya, dan historis yang mungkin terjadi. Upaya kolaboratif antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal adalah kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Penulis merupakan Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies; Alumni S2 Program Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah Universitas Sumatera Utara; Dosen PTS di Batam dan Ketua GAMKI Kepri.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews