People Power 98 Tak Mungkin Terulang di 2019, Ini Beda Kondisinya

People Power 98 Tak Mungkin Terulang di 2019, Ini Beda Kondisinya

Oce Madril. (Foto: republika)

Jember - People power tahun 1998 berhasil menumbangkan Presiden Soeharto karena krisis nasional. Namun di 2019 ini, hal itu tidak mungkin terulang karena seruan people power hanya menyoal kekalahan pemilu yang sudah demokratis.

"Harus diketahui dulu motivasi dari gagasan people power itu sendiri. Kalau pada tahun 1997 -1998 berhasil menumbangkan sebuah rezim, karena saat itu memang rakyat sudah lama ingin menegakkan sebuah demokrasi. Nah, untuk yang sekarang ini, motivasinya apa dulu?" kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril, dalam seminar nasional 'Ancaman People Power Terhadap Demokrasi Konstitusional' yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/5/2019) kemarin.

Menurut Oce, people power tahun 1998 yang dimotori mahasiswa saat itu berhasil menumbangkan rezim Orba karena mendapat dukungan masyarakat luas. Dukungan ini muncul akibat tersumbatnya keran demokrasi yang sudah terjadi selama puluhan tahun.

"Salah satu tolak ukur dari berjalannya demokrasi adalah pemilu yang berjalan reguler, jujur dan adil. People Power yang terjadi 1998 adalah karena kepemimpinan yang ada dinilai cenderung otoriter akibat pemilu yang kurang demokratis, jujur dan adil," kata Oce.

"Selain itu, juga ada agenda bersama seluruh rakyat, yakni melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sudah berlangsung sangat lama," tambah dia.

Oleh sebab itu, lanjut Oce, setelah era Reformasi, muncullah lembaga - lembaga yang menjadi wadah bagi masyarakat. Di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK), Ombusdman, KPU dan Bawaslu. Juga ada lembaga KPK yang fokus dalam pemberantasan korupsi.

"Nah, apakah motivasi people power yang digaungkan saat ini sama dengan yang ada pada tahuh 1998? Itu pertanyaan yang paling mendasar dulu," kata Oce.

Menurut Oce, gagasan people power yang ada saat ini motivasinya adalah persoalan pemilu. Sekelompok orang yang tidak puas dengan hasil pemilu, kemudian mendengungkan dilakukannya People Power.

"Dari berita - berita yang saya baca, dari pernyataan - pernyataan yang saya dengar, dari beberapa orang tokoh, motivasinya mungkin sederhana, karena kalah pemilu," ujar Oce.

Padahal, lanjut Oce, menyelesaikan sengketa pemilu sudah ada jalurnya, yakni bisa lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika lembaga ini diabaikan dalam penegakan keadilan pemilu, maka menurut Oce, gagasan people power menjadi tidak masuk akal.

"Apakah itu yang akan menjadi cara kita berdemokrasi? Ketika kalah, kemudian demo, pengerahan massa mengatasnamakan people power, yang ujung-ujungnya berpotensi timbulnya kerusakan infrastruktur. Padahal tahun 2020 kita akan menghadapi pilkada serentak. Kalau yang kalah mengutamakan pengerahan massa daripada upaya menempuh jalur hukum, maka kerusuhan yang akan terjadi," pungkas Oce.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews