Kolom

Puluhan Industri Stop Produksi, Apa yang Salah?

Puluhan Industri Stop Produksi, Apa yang Salah?

Suyono Saputro (Foto: Istimewa)

Kantor berita Reuters pada 30 Juli 2018 lalu menurunkan laporan yang cukup mengejutkan tentang rencana Pemerintah Kota Beijing untuk menutup 1.000 perusahaan manufaktur sampai dengan 2020 mendatang.

Beijing mulai prihatin semakin tingginya jumlah industri yang berkontribusi terhadap peningkatan polusi asap dan limbah berbahaya di wilayah tersebut, dan berpotensi menurunkan daya saing. Selain menutup atau merelokasi 2.465  industri yang ada, pemerintah setempat juga menolak izin 19.500 usaha baru.

Langkah tegas ini menyusul rencana Beijing untuk menjadi pusat industri berteknologi tinggi yang bebas polusi ditengah kompetisi diantara tiga wilayah berkembang lain yaitu Tianjin dan Hebei.

Lain di Beijing, lain pula di Batam. Beberapa hari lalu, Dinas Tenaga Kerja Kota Batam merilis data sebanyak 48 perusahaan di Batam telah berhenti beroperasi sampai dengan Agustus 2018 ini. Berbagai masalah internal dan eksternal dihadapi perusahaan tersebut sehingga akhirnya memutuskan untuk stop produksi.

Korelasi dua laporan di atas adalah penutupan operasi sebuah industri bisa saja terjadi karena tidak lagi sejalan dengan visi dan misi untuk melakukan modernisasi industri di wilayahnya, atau akibat dari hantaman perubahan iklim bisnis dan industri global yang menyebabkan daya saing perusahaan menjadi menurun.

Kota pulau ini dengan statusnya sebagai kawasan perdagangan bebas berupaya menjadi rumah yang nyaman bagi pelaku usaha dan industri. Ketika pelaku usaha memutuskan membangun bisnisnya di sini dengan harapan bisa berkelanjutan (sustained) dan memberikan ladang penghidupan bagi para pencari kerja.

Tapi apa daya, sebagian perusahaan ada yang langgeng ada juga yang terhempas perkembangan zaman. Yang tidak mampu beradaptasi terpaksa harus berhenti operasi dan menyisakan nestapa bagi karyawan yang ditinggalkan.

Kasus terakhir adalah PT Nagano, satu PMA asal Jepang yang tutup mendadak dan meninggalkan ratusan karyawan yang menunggu pembayaran pesangon. Manajemen perusahaan seolah lenyap tak berbekas meninggal setumpuk kewajiban.

Sesuai prediksi

Satu persatu industri di Batam mulai rontok sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Riset yang dilakukan Grunsven dan Hutchinson pada 2014 setidaknya mengkonfirmasi potensi penurunan daya saing industri di Batam sejak 2004.

Seiring dengan perkembangan Singapura sebagai pusat industri informasi dan telekomunikasi, sektor elektronik dan elektrik (electronic & electrical/E&E) mulai berevolusi dan fokus pada inovasi, riset dan pengembangan.

Kedekatan wilayah dengan Singapura dan dukungan konektifitas logistik yang lebih baik dan biaya yang lebih rendah, memberikan daya tarik bagi perusahaan elektronik multinasional untuk pindah dari Singapura ke Batam. 

Pulau ini mengalami masa keemasan arus investasi yang terus tumbuh konsisten dari empat PMA pada 1990 menjadi 134 perusahaan sampai dengan 2003. Namun memasuki 2004 ketika krisis finansial melanda Asia, jumlah perusahaan manufaktur elektronik yang masuk mulai melambat dan berkurang hingga 90 perusahaan pada periode 2003 - 2004. 

Selama enam tahun berikutnya, jumlah perusahaan elektronik yang keluar atau stop produksi  meningkat menjadi 110 pada 2009, dan anjlok hingga mencapai 50% pada 2010. Data terakhir sampai dengan penelitian Grunsven dan Hutchinson dilakukan pada 2014, jumlah perusahaan manufaktur elektronik di Batam hanya tercatat 62 perusahaan atau kurang dari setengah dibandingkan delapan tahun sebelumnya.

Riset ini sepertinya sinkron dengan data Disnaker mengenai 48 perusahaan yang tutup selama delapan bulan terakhir 2018 ini. Lalu, apa penyebab kemerosotan industri ini? Apa yang salah?

Kata kuncinya adalah kalah bersaing, perusahaan gagal beradaptasi dengan tren perkembangan teknologi, sehingga keunggulan daya saing perusahaan menjadi lemah.

Secara faktor eksternal, industri yang masih bertahan di Batam mempertimbangkan faktor kedekatan wilayah dengan Singapura sebagai aset penting, di mana Batam memberikan keunggulan upah yang murah sedangkan Singapura menyediakan layanan pendukung yang memadai. 

Survei yang dilakukan Grunsven dan Hutchinson pada 2014 menemukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, mayoritas industri yang bergerak di sektor elektronik dan elektrikal (E&E) belum melakukan upgrading atau pengembangan yang signifikan dalam portofolio produk.

Pertimbangannya, dalam konteks lokal, pelaku industri melihat belum kondusifnya kondisi untuk mengambil resiko pengembangan produk baru di Batam, disamping juga perusahaan E&E di Batam merupakan perpanjangan atau subsidiary dari induk perusahaan di Singapura sehingga memiliki kewenangan yang kecil dalam pengembangan produk atau value-added industry.

Namun sebagian besar industri tetap memilih memperbesar investasi dalam sistem automasi mesin untuk meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga jumlah tenaga kerja tetap stabil.

Ketidakmampuan untuk melakukan upgrading produk karena berbagai alasan yang menghambat strategi pengembangan produk baru, membuat industri Batam seperti tidak mampu menjawab tren perubahan teknologi.

Belum lagi secara internal, industri harus tertekan dengan struktur biaya yang tidak proporsional dimana komposisi biaya bahan baku mencapai 62%, diikuti biaya tenaga kerja sebesar 22,54%, energi 17%, dan lain-lain 27%. Akibatnya, perusahaan rentan terkena dampak jika terjadi perubahan pada struktur biaya tersebut.

Apakah faktor biaya ini menjadi alasan tutupnya puluhan perusahaan pada 2018 ini? Walllahualam, tapi setidaknya bisa diprediksi bahwa penyebab terhentinya produksi perusahaan tersebut karena faktor ketidakmampuan bersaing karena produk dan jasa yang sudah out of date atau faktor internal (mis-management).

Industri berkelanjutan

Tentu saja tidak gampang untuk mengembangkan industri yang berkelanjutan atau sustainable manufacturing ditengah situasi kawasan yang belum mendukung kegiatan inovasi teknologi tinggi. Batam saat ini harus diakui belum memiliki peta jalan menuju kawasan innovation centre atau techno-park.

Kita bersyukur Nongsa Digital Park yang diinisiasi oleh Citramas Group hadir menjawab tantangan zaman, bahwa sudah saatnya kawasan FTZ Batam ini berubah mengikuti tren dunia saat ini, yaitu teknologi digital dan pusat inovasi, tidak lagi sekedar export-processing.

Namun, ada beberapa faktor yang menjadi perhatian pelaku industri dalam pengembangan produk baru dan inovasi teknologi yaitu a) kejelasan roadmap pengembangan kawasan; b) ketersediaan tenaga kerja berkualitas; c) basis pemasok lokal; d) sistem inovasi regional yang digerakkan oleh universitas lokal dan pemerintah; e) institusi riset dan pengembangan; f) penyedia kredit pembiayaan; g) asosiasi bisnis yang mendukung.

Strategi pemerintah kota Beijing yang berencana menutup ribuan industri yang berkontribusi terhadap polusi merupakan bagian dari modernisasi kawasan yang berorientasi pada teknologi tinggi dan inovasi.

Kebijakan untuk memilah jenis industri tentu bukan pekerjaan mudah dan jelas beresiko. Pemerintah China mendorong kota-kota yang sedang maju pesat untuk menjadi state-of-the-art of technology and innovation. Walaupun dengan konsekwensi yang harus ditanggung berupa penutupan industri konvensional.

Penulis tentu berharap hal serupa bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan di Indonesia. Mungkin tidak perlu muluk mengubah secara nasional, cukup dengan memperkuat daya saing Batam sebagai kawasan bebas menjadi pusat inovasi dan teknologi tinggi.

Agar tidak semakin banyak industri yang harus berhenti beroperasi karena gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sementara di sisi lain, pulau ini masih belum juga berbenah mempersiapkan peta jalan yang jelas dan terarah.

 

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews