Akankah Krisis Finansial Seperti 1997-1998 Terjadi Lagi di Asia?

Akankah Krisis Finansial Seperti 1997-1998 Terjadi Lagi di Asia?

Krisis moneter

New Delhi - Ekonomi dan mata uang negara-negara berkembang di Asia mengalami tekanan berat dalam beberapa pekan terakhir. Seberapa kuat Asia dalam menghadapi gejolak ekonomi global saat ini?

Penguatan ekonomi Amerika, menguatnya nilai dolar AS dan meningkatnya ketegangan perdagangan telah menyebabkan kelesuan di pasar negara-negara berkembang selama beberapa minggu terakhir. Kian banyak pula investor yang kemudian menarik aset dan memindahkan uang mereka ke AS.

Arus masuk investasi asing ke negara-negara berkembang pun menyusut jadi hanya 2,2 miliar dolar AS di bulan Agustus, demikian menurut sebuah laporan dari Institut Keuangan Internasional (IIF).

Sebulan sebelumnya, yaitu pada Juli, pasar di wilayah ini masih bisa melihat arus masuk di portofolio sebesar $ 13,7 miliar.

Kebijakan bank sentral AS untuk tetap menormalkan kebijakan moneter dengan cara menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali lagi sebelum akhir tahun ini telah berdampak terhadap kondisi keuangan negara lain di dunia.

Beberapa negara Asia juga terpukul keras oleh aksi jual aset di pasar negara berkembang, nilai mata uang mereka terhadap dolar AS pun merosot. Situasi ini memicu kekhawatiran bahwa Asia akan kembali berada di ambang krisis keuangan seperti yang terjadi tahun 1997-1998.

Rupiah merosot ke level terendah sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun sembilan puluhan itu. Sejak awal tahun, rupiah telah turun 9,2 persen terhadap dolar AS.

Namun mata uang Asia dengan kinerja terburuk tahun ini adalah rupee India, yang nilainya menukik turun sekitar 12 persen terhadap dolar AS.

Pemenang dan pecundang

Tidak semua negara Asia terkena dampak negatif. Mata uang Thailand, baht, misalnya, tetap tangguh dalam menghadapi kemunduran pasar.

Para ekonom mengatakan bahwa surplus transaksi berjalan Thailand yang besar dan cadangan devisa yang mencukupi bisa jadi merupakan pelindung mata uang negara itu dari gejolak di pasar saat ini. Surplus transaksi berjalan Thailand diperkirakan sekitar 9 persen dari PDB tahun ini.

Performa mata uang baht saat ini juga sangat berbeda dengan tahun 1997 yang langsung turun lebih dari 50 persen dalam enam bulan setelah adanya kepanikan moneter.

Namun tidak seperti Thailand, negara-negara seperti India dan Indonesia menderita defisit neraca berjalan yang tinggi. Defisit ini terjadi ketika nilai barang dan jasa yang diimpor melebihi nilai barang dan jasa yang mereka ekspor.

Ini melemahkan mata uang suatu negara, membuat mereka lebih rentan terhadap fluktuasi pasar global.

"Mendukung rupiah kian jadi pusat perhatian Bank Indonesia (BI) dan pemerintah," ujar Gareth Leather, ekonom senior untuk wilayah Asia di Capital Economics yang berbasis di London, dalam sebuah catatan penelitian.

BI secara agresif telah melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk mempertahankan nilai rupiah. Bahkan, BI telah menghabiskan hampir 10 persen dari cadangan devisanya tahun ini untuk meningkatkan nilai mata uang.

Karena itulah cadangan devisa Indonesia turun menjadi sekitar $ 117,9 miliar di bulan Agustus, terendah sejak Januari 2017.

Cadangan ini masih cukup untuk membiayai transaksi impor selama lebih dari enam bulan dan membayar utang luar negeri pemerintah, menurut bank sentral. Namun situasi tersebut menegaskan posisi keuangan Indonesia yang rentan.

"Perekonomian Indonesia menghadapi beberapa kelemahan struktural," Rizal Ramli, politikus dan ekonom senior, mengatakan kepada DW. Ramli menunjukkan angka defisit dan utang negara yang tinggi.

Jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa adanya langkah-langkah reformasi struktural dari pemerintah, itu tidak akan menyelesaikan masalah, kata Ramli.

Cara yang dipakai saat ini "akan mengarah pada peningkatan kredit macet dan masalah kredit di lembaga keuangan," demikian Ramli menekankan.

Masalah bagi negara dengan ekonomi berkembang

Sementara itu defisit transaksi berjalan India tahun ini akan lebih buruk daripada Indonesia, menurut Dana Moneter Internasional (IMF). IMF memperkirakan defisit negara Asia Selatan itu akan berkisar pada 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun fiskal berjalan, naik dari 1,9 persen tahun lalu.

Defisit fiskal India juga merupakan salah satu yang terburuk. Pemerintah India melaporkan defisit sebesar $ 62,57 miliar untuk periode April-Juni.

Namun pertumbuhan ekonomi negara itu tampaknya menguat, dengan pertumbuhan PDB sebesar 8,2 persen pada kuartal yang berakhir Juni. India juga memiliki cadangan devisa yang besar yaitu sekitar $ 400 miliar per Agustus.

Meski nilai mata uang rupee dan rupiah terdepresiasi, kinerja kedua mata uang ini masih bukan yang terburuk di dunia.

Memang, kedua mata uang ini tidak terlalu tahan banting seperti bath, namun juga tidak terlalu terpuruk macam lira Turki dan peso Argentina.

Untuk mendukung mata uang dan mengekang inflasi, para pejabat di beberapa negara Asia pun terpaksa menaikkan suku bunga. Bank sentral Filipina dan India telah menaikkan suku bunga masing-masing sebesar 100 basis poin dan 50 basis poin tahun ini.

Para ahli percaya Indonesia dan Filipina kemungkinan akan mengetatkan kebijakan moneter secara agresif dalam beberapa bulan mendatang. Kedua negara ini sedang berjuang mengendalikan tingkat inflasi yang melonjak.

Masih ada optimisme

Namun, beberapa pengamat mengatakan kalau perkembangan terbaru di pasar mata uang global tidak lantas berarti dapat menyebabkan krisis keuangan di Asia.

Charlie Lay, analis pasar negara berkembang di Commerzbank Jerman, mengatakan kepada DW kalau "kondisi Asia saat ini jauh berbeda dibandingkan 1997."

"Perusahaan kini memiliki beban utang yang lebih sedikit dan kurang terpapar pada utang akibat denominasi terhadap dolar," ujar Lay.

Ia menambahkan bahwa "manajemen makroekonomi yang membaik, rezim nilai tukar yang lebih fleksibel dan surplus akun berjalan di sebagian besar negara Asia" menunjukkan bahwa negara-negara ini tidak begitu rentan terhadap krisis dibandingkan dua dekade lalu.

Meskipun banyak negara telah membuat kemajuan signifikan dalam memodernisasi dan mereformasi pasar keuangan, tenaga kerja dan produk mereka, mereka gagal melaksanakan reformasi struktural yang mengakar yang diperlukan untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan dalam jangka panjang.

Lebih lanjut ia mengatakan kondisi makroekonomi yang memburuk sebagai akibat meningkatnya kecenderungan proteksionis di seluruh dunia dapat berdampak buruk terutama untuk ekonomi di Asia Tenggara dan Timur yang sangat bergantung pada arus perdagangan global.

"Cara terbaik bagi Asia dalam bersiap menghadapi gejolak selanjutnya di tengah kerentanan dan ketidakpastian pasar keuangan adalah memastikan manajemen ekonomi yang sehat, termasuk mencegah utang berlebihan, memastikan disiplin fiskal dan memungkinkan fleksibilitas nilai tukar," kata Lay.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews