Sejarah Yerusalem, Kota Suci yang Diperebutkan

Sejarah Yerusalem, Kota Suci yang Diperebutkan

Kota Yerusalem. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID - Keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sangat penting untuk menentukan akhir konflik Israel-Palestina. Ini dikarenakan Yerusalem berada di pusaran konflik tersebut.

Bagi umat Kristen, Islam dan Yahudi, Yerusalem punya status yang sangat penting.

Entah apa di balik keputusan sang miliarder nyentik. Sejumlah berpendapat, Trump sedang melaksanakan janji kampanyenya. Agar para pendukungnya yang pro-Israel puas.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tentu saja bakal senang dibuatnya. Sementara pemimpin dunia lain cemas. Sebab, akibatnya bisa jadi fatal.

"Donald Trump sedang menyulut perang di Timur Tengah. Ia mendeklarasikan perang terhadap 1,5 miliar Muslim dan ratusan juta umat Nasrani yang tak akan menerima kota suci itu berada di bawah hegemoni Israel," kata Diplomat Palestina untuk Inggris, Manuel Hassassian, seperti dikuti Independent, Rabu (6/12/2017).

Raja Abdullah dari Yordania menyatakan hal senada. Ia menilai, apa yang dilakukan Trump akan menyakiti hati umat Islam dan Kristiani. Sementara, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud mengatakan, keputusan miliarder nyentrik itu akan memprovokasi Muslim di seluruh dunia. Kecaman keras juga datang dari Iran.

Sementara itu dari Vatikan, Paus Fransiskus mengatakan, status quo terkait Yerusalem harus dihormati. "Dialog hanya akan mungkin dilakukan dengan mengakui hak semua orang di wilayah tersebut, kata seperti dikutip dari BBC. Pemimpin umat Katolik dunia itu meminta semua pihak bijaksana. Demi mencegah pertumpahan darah.

Yerusalem merupakan salah satu kota tertua di dunia. Setiap jengkal yang ada saat ini adalah hasil dari pembangunan, penjajahan, penghancuran dan pembangunan kembali oleh pihak yang berbeda-beda dari waktu ke waktu.

Kota ini memiliki arti penting bagi para umat dari tiga agama berbeda: Kristen, Islam dan Yahudi. Sebabnya adalah sejumlah situs suci dari ketiga agama dibangun saling berdekatan—bahkan tumpang tindih—di kota tersebut.

Misalnya, di lokasi berdirinya Tembok Ratapan yang digunakan untuk beribadah oleh pemeluk agama Yahudi juga terdapat Masjid Al-Aqsa yang dianggap sangat suci oleh umat Islam. Lalu, di area lain berdiri Gereja Makam Kudus yang selalu dipenuhi oleh peziarah Kristen dari seluruh dunia.

The Atlantic pernah mewawancarai seorang warga Muslim Palestina dan Yahudi Israel untuk mengetahui signifikansi Yerusalem dalam kehidupan mereka, tak hanya secara personal, tapi juga secara politik.

Arieh King, seorang Yahudi yang menganut politik sayap kanan dan merupakan anggota Dewan Kota Yerusalem, berkata,"Kami percaya ini adalah ibu kota kami. Untuk Yahudi Ortodoks sepertiku, Yerusalem bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah caramu tinggal. Ini adalah satu tempat yang dekat dengan lokasi di mana semua yang penting dalam sejarah terjadi."

Ziad Abu Zayyad, seorang pengacara dan mantan menteri Otoritas Palestina, mengatakan hal serupa. "Yerusalem adalah bagian dari iman kami. Ini adalah tempat pertama di mana Muslim mulai berdoa," ucapnya.

Ia juga melihat bahwa Yerusalem sudah menjadi identitas nasional bangsa Palestina.

Salah satu kejadian sejarah paling diingat di mana perang terjadi untuk merebutkan Yerusalem adalah periode Perang Salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun. Namun, konflik Israel-Palestina dimulai di era modern, lebih tepatnya pada abad 20.

Profesor Yehoshua Ben-Arieh, seorang pakar geografi sejarah di Universitas Hebrew, menjelaskan kepada The New York Times bahwa Inggris adalah pihak pertama yang menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota.

Pada abad 20, Inggris sukses menguasai sebagian besar Timur Tengah selama tiga dekade. Penetapan itu semakin menguatkan pentingnya Yerusalem tak hanya dalam konteks agama, tapi juga politik dan ekonomi.

Menurut Michael Dumper, seorang profesor Politik Timur Tengah, para Zionis sebenarnya lebih tertarik pada ide tentang nasionalisme dan pelarian diri dari persekusi, misalnya selama Holocaust, dibandingkan visi keagamaan.

Banyak sekali orang Yahudi yang kemudian bermigrasi ke Yerusalem dengan didorong oleh visi Zionis. Visi tersebut berisi ambisi untuk mendirikan negara bangsa Yahudi. Sementara itu, sebelum Inggris datang, wilayah itu dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman.

Usai keruntuhan Ottoman, warga Arab Muslim di Yerusalem harus beradaptasi dengan kolonialisme Inggris dan kemudian eksodus bangsa Yahudi. Mereka sendiri memiliki ambisi untuk mendirikan negara Palestina. Akibatnya, penolakan pun terjadi dan kekerasan tak bisa dihindari.

PBB mulai turun tangan ketika konflik semakin tak terhindarkan. Usai Perang Dunia II, tepatnya pada 1947, PBB mengumumkan bahwa Yerusalem adalah "Kota Internasional". Namun, Israel mendeklarasikan kemerdekaan setahun kemudian yang diikuti oleh peperangan melawan pihak-pihak yang menolaknya.

Dua tahun kemudian perang berakhir dan Israel mengontrol bagian barat Yerusalem. Sedangkan Yordania menguasai bagian timur, termasuk Kota Lama yang sangat terkenal itu. Perang kembali terjadi pada 1967 yang dikenal sebagai Perang Enam Hari. Hasilnya, Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania.

Meski demikian, warga Palestina tetap meyakini bahwa Yerusalem bukan milik Israel, melainkan ibu kota untuk negara Palestina di masa depan. Komunitas internasional sendiri melihat aneksasi Yerusalem oleh Israel sebagai sesuatu yang ilegal atas kota berpenduduk sekitar 850.000 jiwa itu.

Maka, tak heran bila para pemimpin dunia memprotes pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Trump. Keputusan itu akan menguntungkan Israel di meja perundingan karena Amerika Serikat adalah pihak kunci di dalamnya. Pemerintah Israel juga akan merasa mereka jauh lebih punya legitimasi di atas warga Palestina.

Berikut timeline krisis Yerusalem dan konflik yang melibatkan Israel yang dilansir dari sindonews:

Awal 1900-an
Wilayah ini kebanyakan dihuni oleh umat Islam, Kristen dan sejumlah kecil orang Yahudi. Setelah Perang Dunia Pertama, orang-orang Yahudi menganggap bahwa sebidang tanah tertentu di kota tua itu merupakan “hadiah yang dijanjikan Tuhan” untuk mendirikan sebuah negara Yahudi.

1922
Setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Inggris dan Prancis membagi wilayah-wilayah barat Asia dan Palestina menjadi “Mandat Inggris untuk Palestina”. Ketegangan antara orang Yahudi dan Arab mulai berkembang ketika lebih banyak orang Yahudi mulai berdatangan.

1947
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan sebuah rencana untuk membagi Palestina menjadi dua negara yang terpisah bagi orang-orang Yahudi—yang kemudian bernama Israel—dan orang-orang Arab yang tetap bernama Palestina. Menurut proposal tersebut, Yerusalem seharusnya tetap menjadi zona internasional.

1948
Israel mengumumkan kemerdekaan atau berdirinya negara tersebut. Negara-negara Arab tidak bisa menerima dan memicu perang dengan pasukan Israel. Israel memenangkan perang dan menguasai wilayah di luar batas yang ditentukan, termasuk Yerusalem. Israel menguasai semua wilayah Palestina kecuali Gaza dan Tepi Barat (yang dikuasai Yordania).

1964
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk untuk merintis sebuah negara Palestina.

1967
Negara-negara Arab dan Israel bertempur dalam Perang Enam Hari. Perang berakhir dengan Israel mengambil alih Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Gaza dan Sinai di Mesir.

1978
Mesir dan Israel menandatangani Camp David Accord sebagai bagian di mana Israel menyerahkan Semenanjung Sinai kembali ke Mesir.

1987
Intifada Pertama atau pemberontakan awal dimulai. Pemberontakan tersebut mengikuti strategi dua kali perlawanan dan pembangkangan sipil Palestina terhadap Israel. Ada pelemparan batu hingga bom bensin secara meluas dengan target Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Sejak itu munculllah faksi Hamas, sebuah kelompok fundamentalis yang mencari kemerdekaan Palestina. Intifada berlanjut sampai tahun 1993. Hampir 300 orang Israel dan 2.000 orang Palestina terbunuh.

1993
Intifada diakhiri dengan penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel. Menurut kesepakatan tersebut, PLO secara resmi mengakui Israel dan Otoritas Nasional Palestina (PNA) didirikan untuk memerintah Palestina di wilayah-wilayah tertentu.

2000
Keyakinan Palestina bahwa tidak ada kemajuan yang dicapai setelah Kesepakatan Oslo mengarah pada Intifada Kedua. Hampir 1.000 orang Israel dan 3.200 warga Palestina terbunuh dalam konflik kekerasan tersebut. Gerakan itu ditekan pada tahun 2005. Sebagai konsekuensi dari pemberontakan tersebut, Israel mulai membangun penghalang antara wilayah-wilayah yang dikuasai Israel dan wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh PNA.

2005
Israel mengundurkan diri dari Jalur Gaza.

2007
Hamas berkuasa di Gaza dan memutuskan hubungan dengan PNA, yang hampir membagi Gaza dengan Tepi Barat.

2017
Hamas dan PNA menandatangani sebuah kesepakatan yang memberi PNA kontrol sipil penuh atas Jalur Gaza. Sebagai gantinya, blokade ekonomi mengalami beberapa pelonggaran. Sejarah pada tahun ini berubah lagi, setelah AS secara resmi mengakui Yerusalem secara keseluruhan sebagai Ibu Kota Israel. Padahal, Palestina sudah lama mendambakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negara tersebut.

(ind)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews