Yudi Kurnain: Kenaikan Pajak Air Bebani Masyarakat Batam

Yudi Kurnain: Kenaikan Pajak Air Bebani Masyarakat Batam

Yudi Kurnain (Foto: Ist/Batamnews)

BATAMNEWS.CO.ID, Batam - Anggota DPRD Kota Batam Yudi Kurnain mengkritisi kebijakan Pemerintah Provinsi Kepri yang menerapkan pajak permukaan air. Terutama untuk perusahaan PT Adhya Tirta Batam (ATB). 

Menurut Yudi kebijakan tersebut tidak tepat, apalagi hingga saat ini ATB masih terikat konsesi dengan pihak BP Batam dalam pengelolaan dan pelayanan air bersih untuk masyarakat Batam.

“Itu jelas ngawur,” ujar Yudi saat berbincang dengan batamnews.co.id. Saat ini Pemerintah Provinsi Kepri berdasarkan Pergub nomor 26 tahun 2016 tentang kenaikan pajak air permukaan.

Pernyataan Yudi tersebut bukan tak beralasan. Selama ini masyarakat Batam juga sudah dibebankan pungutan dari BP Batam dan di dalamnya juga ada pajak untuk pemerintah Provinsi Kepri.

“Kalau diterapkan lagi Pergub itu, bisa dua pungutan, tidak boleh itu” ujar Yudi. Yudi memahami hal ini menjadi wilayah Gubernur Kepri dan DPRD Provinsi Kepri serta BP Batam. Hanya saja ia perlu memberi pendapat mengenai peraturan dan nasib masyarakat Batam kedepan. “Setidaknya bisa menjadi bahan pertimbangan,” kata Yudi.

Melihat ke belakang, kata Yudi, ATB hadir di Batam sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam menyediakan air bersih bagi investor di Batam. “Maka dibuatlah konsesi. Jadi kehadiran ATB ini atas persetujuan pemerintah berdasarkan UU,” ujar dia.

Selain itu, ATB juga terikat konsesi dengan BP Batam yang mewakili negara dalam pengelolaan dan pelayanan air bersih di kota Batam.

“Batam ini dahulunya kan tidak seperti ini. Investor datang kalau ada fasilitas salah satunya air bersih dan listrik, dan itu baru mampu dilayani pihak swasta, jadi itu atas kehendak negara yang memiliki komitmen menyediakan infrastruktu dan pelayanan air bersih,” kata dia.

Tentu saja investor yang ada di Batam memiliki standar tersendiri untuk air bersih tersebut. Kehadiran ATB justru banyak membantu melayani para investor asing serta masyarakat.

“Jadi selama konsesi masih ada, nggak usah bicara UU dahulu, nanti prosesnya setelah konsesi berakhir baru dibahas lagi antara pemerintah dalam hal ini BP Batam, Pemerintah Provinsi, serta DPRD,” ujar Yudi Kurnain.

Menurut Yudi, apabila pemerintah provinsi menerapkan pajak air yang baru yang naik mencapai 900 persen ditambah lagi pungutan dari BP Batam, yang dirugikan justru masyarakat.

Seperti diketahui, konsesi antara BP Batam dengan ATB, baru akan berakhir pada 2020 mendatang. Sementara saat ini Pemerintah Provinsi Kepri sudah menaikkan pajak air permukaan sebesar Rp 180 per meter kubik. Nilai perolehan air berdasarkan hitungan pemerintah mencapai Rp 1.886 per meter kubik. Kemudian berdasarkan Perda no 8 tahun 2011 tentang pajak daerah, pajak air permukaan itu adalah 10 persennya.

Sebelumnya, nilai perolehan air hanya Rp 180 per meter kubik dan pajak untuk pemerintah Provinsi Kepri sekitar Rp 20 per meter kubik. Sedangkan sisanya dipungut BP Batam. 

Kemudian kenaikan pajak air permukaan yang mencapai 900 persen ini tentunya akan sangat membenani. Masyarakat akan dibebankan dua tagihan. Pajak Rp 180 per meter kubik yang diterapkan Pemerintah Provinsi Kepri, kemudian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 150 per meter kubik. Totalnya mencapai Rp 320 per meter kubik. 

“Selama ini ATB kan masih mampu dan masih profesional melayani masyarakat atau pelanggan, kenapa harus dibebankan lagi dengan hal-hal begitu,” kata dia.

Yudi berpendapat, provinsi tidak bisa memaksa, ATB maupun BP Batam untuk membayar pajak yang membebani itu. “ATB harus berpegang kepada konsesi begitu juga BP Batam. Provinsi harusnya menghargai hukum dan aturan tersebut,” ujar pria yang hobi bersepeda ini.

Yudi mengatakan, ATB harus tetap fokus hingga konsesi berakhir. “Jangan takut kepada opini yang berkembang,” ujar dia.

Yudi menambahkan keberadaan ATB tersebut bukan seperti usaha bubur kacang hijau, yang bisa dibuat begitu saja. Mereka berinvestasi yang tidak sedikit. Mulai dari jaringan hingga SDM.

Seharusnya pemerintah harus bisa memberikan kenyaman dan kepastian hukum terhadap investor dalam berinvestasi termasuk di bidang pengelolaan air untuk masyarakat.

“Jadi ATB ini bukan dagangan burjo,” ujar dia. Yudi yang pernah menjadi salah satu pimpinan Pansus Tarif Air ATB pada tahun 2005 lalu ini mengaku, pernah berkonsultasi dengan pakar hukum universitas seperti UGM guna mengetahui posisi ATB. 

“Hasilnya, pakar hukum itu mengatakan, bahwa ATB adalah perpanjangan negara dalam menyediakan air bersih untuk masyarakat dan investor, dan tidak melanggar hukum,” ujar dia.

Yudi sepakat, bahwa air, tanah dan udara dikuasai oleh negara. Kendati demikian, lahirnya konsesi antara ATB dengan BP Batam itu, juga terjadi pada saat UU tersebut sudah ada.

“Jadi tidak ada masalah hingga saat ini,” kata dia. Yudi justru prihatin, selama ini ATB yang memiliki performa bagus di seluruh Indonesia, justru terus dibebani. 

Menurut Yudi, melihat kemampuan PDAM-PDAM selama ini di Indonesia, masih harus banyak belajar kepada ATB.

“Realitasnya PDAM di seluruh Indonesia kebanyakan, yang paling dekat di Tanjungpinang dan Karimun, standarnya masih cukup jauh dalam hal pengelolaan dibandingkan dengan ATB, apalagi nantinya dalam pelayanan terhadap investasi dan masyarakat,” ujar dia.

Gugat

Yudi Kurnain juga meminta masyarakat yang keberatan terhadap Pergub 26/2016 tersebut bisa digugat bila dianggap merugikan. “Bagaimana kalau gubernur dan DPRD ngotot, masyarakat silakan menggugat, aturan mana yang mau digunakan, konsesi atau pergub,” ucapnya.

Menurut Yudi, kedua produk hukum itu bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, sehingga masyarakat juga bisa mendapat kepastian mengenai hal tersebut.

Menurut Yudi, apabila kedua peraturan itu digunakan, maka yang paling terbebani adalah masyarakat Batam. Sementara itu, Pergub ini tidak berlaku bagi PDAM di Kepulauan Riau.

(snw)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews