Opini

Google Lebih Pantas Diblokir

Google Lebih Pantas Diblokir

Ilustrasi. (foto: ist/net)

DUA pekan terakhir, publik Indonesia diramaikan dengan diblokirnya aplikasi Telegram. Pemerintah menyebut Telegram berbahaya karena digunakan oleh jaringan teroris untuk berkomunikasi.

Saya setuju alasan pemerintah tersebut. Namun, apakah pemerintah sudah adil? Pendapat saya ada yang jauh lebih berbahaya. Google dan Youtube lebih mengerikan.

- - - - - - - -

Pengguna internet pasti sudah tidak asing dengan yang namanya Google. Perusahaan teknologi raksasa yang awalnya mesin pencari.

Dulu, awal tahun 2000-an, saya pernah bertanya-tanya darimana Google dapat keuntungan. Di tampilan webnya tidak ada iklan. Bersih. Kesan yang muncul semuanya gratis. Saya berpikir, "Ah, mungkin Google ini yayasan sosial."

"Oo, mungkin bos Google ini udah kebanyakan duit. Jadi bingung mau dikemanain."

Layanan email waktu itu masih dominan oleh Mail Yahoo. Layanan pesan memakai Yahoo messenger.

Belakangan, saya baru sadar. Saya salah. Google yang berdiri tahun 1998 itu telah membuat penggunanya terikat dengan kesan gratis. Lalu ketagihan. Kemudian menyerahkan data dirinya bulat-bulat. Setelah itu, data kita dijual kepada pihak ketiga.

Jika berbisnis di bidang dunia internet, Anda diwajibkan tunduk ke aturan si Google. Salah dikit bisa kena banned.

Seperti menyimpan uang di bank, Anda dibebaskan setor sebanyaknya namun dibatasi saat menarik uang di ATM. Salah-salah, kartu ATM kena telan.

Selain banyak aturan, Google dan saudaranya Youtube hanya mencari untung tanpa memikirkan dampaknya.

Coba Anda ketik kata-kata berbau porno di situs pencari Google. Akan muncul semua situs porno yang bebas dibuka. Lalu coba beralih ke gambar. Anda akan menemukan banyak gambar adegan intim yang sangat vulgar.

Coba lagi ketik kata "cara membuat bom". Anda akan menemukan rincian dengan sangat jelas termasuk gambar yang detail.

Sekarang saya baru mengerti alasan pemerintah China memblokir Google di negara itu. Semua konten berbau porno dan radikalisme tidak tersaring. Jumlahnya jutaan.

Harus diakui Google dan semua turunannya banyak membantu. Tapi dampaknya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. Saya bergidik membayangkan semua gambar dan detail itu dilihat dan dibaca dengan bebas oleh anak-anak.

Tidak bisa dipungkiri, rata-rata pelaku kekerasan seksual dan radikalisme terinspirasi setelah membuka Google dan YouTube.

Di Indonesia sendiri jumlah pengguna produk Google terbilang cukup fantastis. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per Oktober 2016, ada 81,8 juta pengguna internet Indonesia memakai Google Chrome sebagai browser utama.

Angka itu jauh melebihi setengah dari 132,7 juta pengguna internet di Tanah Air. Gmail juga mempunyai pengguna yang sama besar di Indonesia seperti Chrome. Belum layanan lain seperti Maps.

Selama berkiprah di Indonesia, apa kontribusi Google yang tampak kasat mata? Tidak ada.

Google sendiri yang memberitahu. Anda bisa cek kata-kata "donasi Google di Indonesia atau sumbangan Google di dunia pendidikan Indonesia," atau apapun yang terkait dengan kontribusinya di Indonesia.

Anda tidak akan menemukannya. Kecuali kontribusi atau sumbangan mereka terhadap kegiatan yang berhubungan dengan keuntungan perusahaan atau produk Google sendiri.

Bahkan, Google bermasalah dengan pajak di Indonesia. Perusahaan internet itu disebut oleh Dirjen Pajak menunggak pembayaran pajak dalam lima tahun terakhir. Utang pajak Google pada 2015 saja ditaksir mencapai Rp 5 triliun.

Belakangan, meski disebut sudah membayar pajaknya, kabarnya pembayaran pajak oleh Google jauh lebih kecil dari perkiraan penghasilan mereka di Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan Google telah membayar kewajiban pajak dengan menyetorkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) untuk tahun pajak 2016. Tahun-tahun sebelumnya tidak jelas. Angka yang dibayar pun misterius.

Data yang dilansir Tempo, manajemen Google menyatakan penghasilan laba sebelum pajaknya mencapai Rp 74,5 miliar pada 2012-2015 dan telah menyetorkan pajak Rp 18,5 miliar pada periode yang sama. Pada 2015 Google mengaku menghasilkan laba Rp 20,9 miliar dan telah menyetor pajak Rp 5,2 miliar. Benarkah?

Angka itu jauh dibanding perkiraan aparat pajak yang menaksir tunggakan Google mencapai Rp 5 triliun untuk tahun pajak 2015.

Dari mana sumber pendapatan Google?

Pundi-pundi Google tak lepas dari banyaknya portofolio bisnis yang dimiliki, sehingga duitnya juga mengalir dari segala penjuru. Selama 2015 saja, penghasilan Google diperkirakan mencapai 75 miliar dolar AS atau Rp 987 triliun.

Bisnis inti Google sendiri adalah mesin pencari. Kini Google membuat layanan-layanan turunan seperti Gmail, YouTube, Search, Drive, Maps, hingga Play Store.  

Di sisi lain, Google pun terbantu karena pengguna dengan sukarela--dan mungkin tak sadar--telah menyerahkan informasi pribadi. Apa musik yang disukai, jenis olahraga yang disukai, gadget yang jadi favorit dan sebagainya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut terhimpun di Google.

Informasi itulah yang bernilai emas bagi pengiklan agar tepat sasaran dalam memasarkan produk dan jasanya.

Nah, pengiklan ini yang menjadi pemasukan terbesar Google. Ya, Google kini telah menjelma menjadi agen iklan terbesar di dunia melalui AdWords, AdSense, AdMob dan lainnya. Setiap klik, data seluler milik pengguna tanpa sadar akan terpotong.

Sementara, startup dan bisnis kecil-kecil yang berbau online di Indonesia sudah dikenakan pajak. Setiap transaksi meski usaha baru dimulai, sudah kena pajak karena memakai badan hukum.

Mesin Pencari Lokal

Saya juga pengguna Google. Karena saya berpikir Google banyak membantu dan belum ada mesin pencari yang menyamai Google. Tapi pikiran itu kini berubah.

Saya terkesan setelah melihat Geevv. Ini adalah mesin pencari buatan anak Indonesia. Saya tidak kenal Azka Slimi yang menemukannya. Ia seorang mahasiswi 21 tahun yang masih kuliah di Universitas Indonesia. Geevv lahir pada Agustus 2016. Sebulan kemudian atau tepatnya pada 26 September 2016, Geev beroperasi pertama kalinya.

Azka Slimi (kanan), pendiri Geevv.

Azka membuat mesin pencari yang unik. Bahkan, menurut saya luar biasa.

Geevv bukanlah sekadar mesin pencari seperti Google. Mayoritas keuntungan yang dihasilkan dari Geevv akan disalurkan ke sejumlah program sosial seputar kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan bencana alam.  

Tiap satu kali pencarian yang berhasil dilakukan melalui situs Geevv.com, pengguna menghasilkan Rp 10. Saldo donasi pengguna terlihat jelas. Angka itu akan terus berlipat seiring jumlah pencarian yang dibuat. Makin sering digunakan, berlipat pula donasi yang dihasilkan.

Jika Anda melihat saat ini, dana yang terkumpul sudah hampir Rp 100 juta. Angka itu akan terus membesar jika Anda sering memakai Geevv. Dan sudah ratusan juta rupiah donasi sudah diserahkan ke program sosial. Bukan janji atau kampanye saja.

Uang donasi itu berasal dari pendapatan iklan yang masuk dan klik pengguna. Geevv hanya mengambil 20 persen untuk profit perusahaan, sebesar 80 persen untuk donasi. Meski begitu, Geevv ternyata masih memperoleh untung.

Dan yang paling penting, Anda tidak akan menemukan konten atau gambar jika mengetik kata-kata porn atau porno.

Saya berpikir, jika kita sepakat, Geevv atau mesin pencari buatan anak negeri lainnya bisa tumbuh seperti Baidu di China. Pengguna mendapat manfaat sekaligus beramal.

Jadi, Google lebih pantas diblokir di Indonesia. Kita pasti bisa mengatasi ketergantungan terhadap si Mbah Google ini.


Indrawan
Founder dan Praktisi Media Digital


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews