Efek Sekolah 5 Hari ala Mendikbud Muhadjir Effendy

Efek Sekolah 5 Hari ala Mendikbud Muhadjir Effendy

Ilustrasi. (foto: ist/net)

Dunia pendidikan di negeri nyiur melambai ini sedang riuh. Penyebabnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Muhadjir Effendy mengusulkan agar siswa pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta menggunakan sistem "full day school".

Alasannya, supaya anak tidak sendirian ketika orang tua mereka masih bekerja. Dengan demikian orang tua bisa mengawasi anak-anaknya sehingga tidak lantas berkeliaran saat orang tua belum pulang bekerja. Prof Dr Muhajir meyakini pada akhirnya ini akan membentuk karakter setiap anak.

Cita-cita Muhajir ini patut didukung kalau dasar pemikirannya sudah didukung oleh kajian akademis. Artinya, apakah Pak Mendikbud ini sudah tahu persis melalui kajian yang mendalam bahwa persoalan "tetek bengek" anak murid di Indonesia ini sudah selesai begitu sistem ini diberlakukan ?

Pak Menteri, sekitar 50 juta anak yang duduk di bangku sekolah bukan hanya mutar-mutar di Jakarta, di sekitar kantor bapak, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Jutaan anak yang sebagian besar adalah kaum dhuafa tersebar hingga nun jauh di desa. Berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki menempuh jalan setapak.

Bahwa orang tua sibuk bekerja hingga sore hari di kota besar, benar adanya. Bahwa orang siswa di Jakarta sering was-was takut kalau-kalau anaknya tawuran, boleh jadi benar adanya. Pertanyaannya, apakah para siswa sering berkeliaran bahkan tawuran karena jadwal waktu pulang sekolah terlalu cepat, orang tua terlalu sibuk, atau gurunya nya juga ikut lelet.

Setidaknya, apakah kebijakan sekolah 5 hari dengan waktu 8 jam belajar sudah sejalan dengan beragamnya tradisi dan kultur di negeri ini. Sekali waktu datanglah Pak Menteri ke daerah Langkat. Di Bumi Bertuah ini sudah puluhan tahun anak yang belajar di sekolah selama 6 hari memilih untuk langsung pulang ke rumah. Jadi bukan berkeliaran, mejeng, jual tampang lalu senggolan sedikit lantas tawuran. .

Pada masa anak usia sekolah, umumnya lekas pulang untuk membantu orang tua di rumah. Ada yang ikut ayah dan abang untuk ikut ke laut mencari tangkapan ikan, udang, kepiting, dan lainnya. Ada pula yang tinggal di kawasan pertanian, membantu orang tua dengan menyadap karet, mendodos sawit, mengolah sawah, hingga mengangon (menggembalakan ternak lembu, kambing dan lainnya).

Di Dusun Pulka Desa Naman Jahe Kecaatan Salapian Fikiri, seorang bocah kelas 1 SMP harus mengorbankan masa remajanya agar bisa mengangon Lembu dengan cara upahan. Kalau Ia lebih suka keluyuran dan bergelut seperti anak di kota besar, alamat periuk akan telungkup. Sebab ibunya seorang janda, Rahiyah, kerjanya hanya menderes getah orang lain dengan upah Rp 150.000 per bulan. Dan karenanya anaknya yang semata wayang yang itulah yang ikut membantu pengeluarannya sehari.

Ibu Rahyah ini hanya bisa pasrah kalau nanti sistem sekolah 5 hari ini berjalan, alamat anak tak bisa lagi membantu mencari tamhahan nafkah. Bagaimana nanti menutupi hidup sehari-hari. Bukan ada lagi harta yang mau dijual buat modal usaha, rumah satu-satunya yang dimilikipun hanya gubuk bersahaja.

Cerita duka di daerah pesisir lebih mengenaskan. Karena kemiskinan orang tua, banyak yang putus sekolah saat duduk di bangku SD dan SMP karena juga harus membantu kebutuhan orang tua. Kalau pun ada yang masih bertahan, biasanya sudah memilih pulang duluan sebelum jam pelajaran selesai, antara pukul 10-11.00 WIB. Selanjutnya mereka ikut ke laut bersama keluarga atau teman mencari ikan.

Orang tua hanya bisa pasrah. Bukan memaksa anak bekerja. Selain karena kemiskinan tadi, hal ini sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun di kawasan pesisir di Langkat. Anak-anak yang masih di bawah umur ini rela berlayar hingga malam hari dan hasilnya yang rata-rata mencapai diserahkan sebagian ke orang tua, dan sebagian untuk jajan di sekolah (bagi yang masih sekolah).  

Kisah ini antara lain yang dialami oleh seorang nelayan dari ribuan nelayan tradisonal di Langkat. Mahyudin, 32 tahun, warga Lingkungan VIII Ujung Kampung Pangkalan Susu, hampir setiap hari ditemani seorang anaknya, M Arif, 11 tahun, yang masih duduk di bangku kelas V SD.

Setelah pulang sekolah sekira pukul 13.00 WIB, ia istirahat dan selanjutnya ikut ayahnya ke laut mencari ikan. Meski mencari ikan di laut dari mulai pukul 16.00 WIB hingga esok hari menjelang subuh, ayah dan anak ini hanya bisa menghasilkan uang Rp 100.000, setelah dipotong biaya operasional tersisa Rp 50.000. Karena pulang sudah subuh, bocah Arif terkadang terkantuk-kantuk mengikuti jam pelajaran.

Begitulah umumnya gambaran nelayan di Langkat. Karena Mahyudin mengharapkan kalau bisa jadwal pelajaran sekolah jangan diubah. Seperti yang biasa saja, masuk sekolah pagi pulang siang, sehingga tetap bisa membantu orang tua.

Mahyudin sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya untuk meraih masa depan yang lebih baik. Janganlah ayah sudah menjadi nelayan, anak pun nanti jadi nelayan. Ia mengajak anak melaut ini, sekaligus mengajarkan betapa susahnya melaut.

Sudah kurang tidur, terombang ambing di perahu juga kehujanan. Dengan begitu anaknya mengerti susahnya mencari ikan di laut, sehingga kelak akan jauh lebih mencintai orang tuanya. Jadi pendidikan dapat, dharma bakti anak kepada orang tua jangan sampai diputus dengan adanya perubahan jadwal sekolah ini.

Seperti halnya dengan Mahyudin dan Rahyah, seorang ibu bernama Leli, 41 tahun, juga berharap agar jadwal sekolah tetap seperti biasa. Anaknya sepulang sekolah juga harus ikut membantunya menambah penghasilan. “Kalau sampai berubah mau dikasi makan apa kalau pulang sampai sore. Jangankan mikirin sekolahnya, makan sehari-hari saja lebih banyak pakai lauk ikan asin dan sayur kangkung atau daun ubi,” ucapnya.

Hendaknya kebijakan sekolah 5 hari ini diserahkan saja pada masing-masing sekolah. Karena kalau dibuat menjadi keputusan Menteri atau Presiden, dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang lebih lebar antara pendidikan di daerah dan kota besar. ***

Oleh : H Affan Bey Hutasuhut
Penulis Mantan Wartawan Majalah Tempo (1987-1994)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews