Kampung Bule, Legiannya Batam

Malam-malam Genit di Kampung Bule Batam

Malam-malam Genit di Kampung Bule Batam

Salah satu sudut Kampung Bule, Nagoya, Batam. (Foto: Nurlis E Meuko/batamnews.co.id)

BINTANG berkedap kedip malas mengintip dari sela-sela awan malam. Langit Batam memang tak begitu cerah pada akhir pekan Minggu malam (30/4/2017) itu, namun tak mengurangi ingar-bingar di pusat kota yang dikenal dengan sebutan Kampung Bule, Nagoya.

Kehidupan di Kampung Bule ini dimulai ketika sang surya mulai meredup. Lampu berwarna-warni mulai menggantikan posisi matahari yang menyiram cahaya di kawasan ini.

Suasana semakin ramai ketika malam beranjak tua. Satu persatu aneka jenis kendaraan memasuki kawasan ini. Tempat parkir padat, tak ada tempat lagi saat malam semakin tua. Banyak lelaki berjalan kaki berlalu-lalang memilih tempat hiburan yang memenuhi sepanjang jalan.

Di pintu-pintu bar dan pub, menanti gadis-gadis berpakaian menor. Mengenakan rok super mini nyaris menyembulkan celana dalam yang dipadu dengan tank-top yang memperlihatkan pusar, mereka menyapa pengunjung dengan sapaan-sapaan manja nan genit dan menggoda.

Tetapi jangan salah. Jika Anda warga lokal berkulit coklat, maka jangan banyak berharap akan mendapat kerdipan mata dari wanita-wanita di sini. Mereka hanya tertarik menyapa pria-pria asing dengan kemampuan bahasa Inggris yang seadanya.

Apalagi pria yang berkulit putih kemerah-merahan dan berambut pirang. Perlakuannya akan sangat istimewa. Cocok dengan namanya, Kampung Bule, perempuan di sini memang memanjakan "bule-bule" yang berkunjung di sini.

Itulah sebabnya seorang WNA asal New York, Amerika Serikat, Jhonsen, merasa betah di sini. Selama berada di Batam, hampir saban malam ia berada di Kampung Bule. Katanya sih cuma makan malam sambil menikmati bir.

Ia memuji Kampung Bule. "Pelayanan ramah dan bagus. Cantik, semuanya apa adanya, tidak neko-neko," katanya kepada wartawan batamnews.co.id, Alnovyan Harmindo Alba. (Baca: Semalam Menyusuri Kampung Bule)

Soal makanan dan minuman di sini pun baginya sangat sedap. "Dari segi harga jauh lebih murah dibanding dengan Singapura."

Mana tempat hiburan dan restoran yang paling baik di Kampung Bule? Ini tentu bergantung selera. Ada sekitar 42 bar dan cafe, berjejer di beberapa blok. Dengan nuansa dan tema yang berdeda-beda, dan Kampung Bule hampir mirip dengan tempat wisata di Legian, Bali, juga hampir sama dengan Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, dulu.

****

KAMPUNG Bule merupakan daerah utama bagi kehidupan malam yang berorientasi expat di Batam (Bule = orang asing kulit putih, Kampung = lingkungan). "Terletak di Nagoya, sekitar 10 menit mengendarai mobil dari Terminal Feri Harbour Bay," begitu kalimat seorang penulis yang menguraikan pengalamannya di laman web jakarta100s.com.

Ia menyebutkan, tempat itu juga sebagai NED (Nagoya Entertainment District). "Ini adalah Red Light District kecil. Hanya berjalan kaki akan menemukan puluhan bar, klub malam, dan panti pijat," tulisnya.

Red Light District yang disebutkannya ini tentu saja merujuk pada kawasan prostitusi di Amsterdam, Belanda, yang sangat tersohor itu. Lokasinya hanya 10 menit dari Amsterdam Centraal Station atau Stasiun Kereta Amsterdam, atau sekitar 1 kilometer ke arah barat stasiun. Letaknya tak jauh dari dam square di jantung Amsterdam.

Di sini memang banyak pub dan bar. Bahkan para pelacur dari berbagai negara bebas beropeasi di sini. Salah satu keunikan dari Red Light District, para pelacur tidak menjajakan diri di tepi jalan, melainkan nampang di dalam ruangan kaca.

Mereka tampil nyaris telanjang. Hanya berbalut bra dan celana dalam untuk menutupi tubuh, para pelacur di Red Light District membanderol harga sekitar 80 Euro, sementara untuk long time bisa menembus 250 Euro. Jika hanya sekedar untuk melihat ia tanpa busana, dimintanya 50 Euro.

Red Light District memang identik dengan wisata seks. Tak hanya memajang pelacur, sejumlah tempat juga menampilkan pertunjukan live hubungan seksual. Di dalamnya seperti bioskop, ada panggung di depan. Di sinilah sepasang pria dan wanita akan mempertontonkan hubungan seks yang mereka lakukan. Pengunjung cukup mengeluarkan 30 Euro untuk menonton pertunjukan ini.

Selain itu, di kawasan merah ini juga bebas mengisap ganja asalkan masih di dalam bar. 

Lalu bagaimana dengan Kampung Bule?  Tentu tak ada pajangan pelacur di dalam kaca. Konotasi seksual hanya bisa dilihat dari penamaan sejumlah bar di sana. "Misalnya Foreplay, Lusy's Oarhouse, Fat Willy's, TTs, Bollocks, dll," begitu jakarta100s.com menulisnya.

Di dalam ruangan pub dan bar itu juga sangat mirip satu sama lain. Bentuknya berupa  ruangan berbentuk persegi panjang dengan meja biliar di depan, area bar, beberapa meja, musik dari daftar putar youtube dan sekitar 10 perempuan untuk menghibur tamu. 

"Sejumlah perempuan yang berada di bar-bar maupun pub di Kampung Bule bisa diajak keluar asalkan sesuai kesepakatan soal harga."  tulis si penulis tadi di laman web yang banyak menuliskan tentang tempat hiburan.

Tarif pelacur di sini juga beragam, antara sejuta hingga Rp1,5 juta. "Tetapi, Anda harus mencatat bahwa yang tercantik akan selalu menunggu di luar untuk memikat pelanggan."

Meskipun Kampung Bule disebut sebagai daerah yang paling banyak pelacurnya, tetapi tetap dinilai sebagai tempat paling asyik untuk bersantai di malam hari.

Berbeda dengan Red Light yang ada di Amsterdam, di sini tak ada tempat pertunjukan hubungan seks yang langsung bisa ditonton, juga tak ada kebebasan mengisap ganja sebab pasti ditangkap aparat penegak hukum dan terancam pidana.

"Memang sebelum tahun 2000, tempat ini dikenal sebagai sarang narkoba. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi," kata Sofyan, seorang warga yang sudah 24 tahun berada di Kampung Bule.  

***

DI dalam sebuah pub, para perempuan bergelayut manja menggantungkan tangannya di leher pria-pria berkulit putih. Sebagian lagi ada yang bercanda dengan menggendong gadis-gadis yang tentu sangat mungil bagi ukuran pria yang berasal dari Eropa.

Mereka tertawa cekikikan. Tak menghiraukan alunan musik yang berjalan dengan sendiri. Malam sudah tua, berganti dini hari, ketika Kampung Bule mulai meredup. Satu per satu pengunjung meninggalkan tempat. Di antara mereka tentu saja ada yang membawa gadis-gadis berpakaian mini itu.

Sekitar pukul tiga dini hari, pengunjung Kampung Bule mulai menyusut. Makin sepi saat matahari mulai menyinsing dari ufuk timur. Ketiga pagi datang, tempat ini berubah. Sepi. Hanya ada kendaraan berlalu-lalang yang melintas kawasan ini. ***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews