Kegagalan Operasi Merlin dan Bocornya Blueprint Bom Nuklir

Kegagalan Operasi Merlin dan Bocornya Blueprint Bom Nuklir

Ilustrasi reaktor nuklir. (foto: ist/net)

 

Seorang ilmuwan Rusia terlihat gugup. Ia tidak nyaman berjalan menyusuri blok-blok di Kota Wina di bulan Februari tahun 2000 itu. Sesekali ia melihat ke belakang seakan sedang terancam. Lelaki ini punya alasan untuk merasa terancam karena ia berjalan di kota dengan membawa blueprint (cetak biru) bom nuklir!

Ya, ia membawa desain teknik untuk TBA-480 high voltage block, yang dikenal sebagai "perkakas senjata" bikinan asli senjata nuklir Rusia.

Di tangannya, ada pengetahuan tentang cara menciptakan ledakan sempurna yang dapat memicu reaksi berantai nuklir di dalam sebuah bola inti kecil.

Ilmuwan Rusia itu membelot ke AS setahun sebelumnya. Di benaknya, ia masih meragukan “order” yang diterimanya dari markas CIA. Badan intelijen negeri Paman Sam itu memintanya membawa rancangan nuklir tersebut ke Wina untuk dijual kepada perwakilan Iran di Internasional Atomic Energy Agency (IAEA).

Ilmuwan Rusia itu seorang insinyur nuklir yang dibayar CIA US$ 5.000 per bulan. Selain itu, CIA telah membantunya mendapat status kewarganegaraan Amerika. CIA lalu meminta "balas budi".

Pejabat CIA yang bertugas mendampingi harus bekerja keras untuk meyakinkan lelaki itu. Kode operasi ini diberi nama "Merlin". Nama yang berarti "melakukan program yang sama sekali berbeda dari apa yang tampak dari luar".

Pejabat CIA ini pun merahasiakan isi program tersebut dari agen Rusia itu. Tugas untuk agen Rusia itu adalah berperan sebagai seorang ilmuwan pengangguran yang tamak. Dia ingin menjual dirinya berikut rahasia bom atom kepada penawar tertinggi.

Dengan arahan ketat, si orang Rusia harus mendapatkan penawarannya dari agen-agen Iran. Rencana itu diletakkan sepenuhnya kepada sang pembelot ini.

Beberapa waktu sebelumnya, ia bertemu para pejabat CIA dan para pakar nuklir di daerah Somona. Dalam sebuah kamar di hotel mewah San Fransisco, seorang pejabat senior CIA menjelaskan detil rencana kepada sang pembelot.

Pejabat senior CIA itu melihat si Rusia tampak gugup, sehingga ia berusaha menenangkannya dan mengatakan kepadanya apa yang harus dikerjakan. Dalam perhitungan CIA, operasi ini telah disusun matang. Operasi ditekankan untuk mencari tahu sejauh mana program nuklir Iran.

Setelah berupaya keras meyakinkan ilmuwan itu, CIA kemudian menyerahkan cetak biru nuklir Rusia yang dicuri oleh ilmuwan Rusia lain yang juga membelot. Tetapi cetak biru itu telah dibuat cacat. CIA yakin Iran tidak akan mampu mengenali bagian yang dibuat cacat tersebut. Hingga ketika mereka telah mencoba membangun desain dan mengujinya, Iran akan mendapat malu karena bom akan gagal dan program nuklir pun akan mundur untuk beberapa tahun.

Ilmuwan Rusia itu sempat memeriksa cetak biru yang diberikan CIA. Sebagai ahli nuklir dia menyadari ada yang salah dalam cetak biru tersebut. "Ini ada yang salah. Tidak seperti ini cetak birunya," katanya di depan sejumlah personel CIA di sebuah kamar hotel di Fransisco. Tetapi tidak ada yang memberi penjelasan.

Ilmuwan Rusia itu memiliki pemikiran tersendiri tentang kemungkinan memainkan "misi" tersebut.

Ilmuwan Rusia berpikir keras bagaimana caranya memberitahu kepada Iran bahwa ada kesalahan di cetak biru tersebut. Maka dia pun membuat surat pribadi ke Iran yang dikirim bersama paket cetak biru yang mengatakan ada kesalahan di cetak biru itu tanpa menyebutkan kesalahan ada di mana. Namun, ia menawarkan bisa membantu jika diperlukan (tentu dengan imbalan). Dia mengambil peran sendiri dalam operasi tersebut. Dia sudah siap dengan segala risiko jika CIA tahu keputusannya itu.

Dan penyerahan dilakukan di Wina, Austria. Ilmuwan Rusia bisa menyelinap di negara tersebut dan menyerahkan cetak biru dalam amplop melalui bawah pintu. Dia lega karena tidak harus ketemu langsung dengan orang Iran.

Sehari setelah menyerahkan paket, sebuah laporan menyebutkan para pejabat Iran di Wina dengan tiba-tiba mengubah jadwal di IAEA. Mereka menyiapkan tiket penerbangan pulang ke Iran. Kemungkinan besar rancangan nuklir itu sudah di pihak Teheran.

Kisah di atas diulas di sebuah buku berjudul "State of War" yang diterbitkan oleh The Guardian pada tahun 2006. Sang penulis, wartawan New York Times James Risen harus berurusan dengan pengadilan selama lebih kurang tujuh tahun terakhir. Risen terlibat dalam masalah hukum dengan pemerintah AS karena menolak untuk mengungkapkan sumber pemerintah yang digunakan dalam laporannya.

Kisah yang hampir mengirim dua kali pemenang Pulitzer ke penjara itu karena dia membongkar bagaimana kebodohan Amerika sendiri yang justru membantu Iran dengan cepat membangun nuklirnya.

Kemungkinan, dengan mengetahui kelemahan pada blueprint, Iran bisa terbantu untuk mengembangkan senjata nuklir dengan rancangan yang seharusnya. Iran telah menghabiskan waktu hampir 20 tahun untuk pengembangan senjata nuklirnya. 

Selain itu, Teheran juga mendapatkan rancangan nuklir dari jaringan ilmuwan Pakistan seperti Abdul Qadeer Khan. Ilmuwan sekaliber Qadeer Khan, pastinya dengan mudah bisa membandingkan rancangan yang dimilikinya dengan desain yang diterima Iran dari CIA.

Risen menulis, ahli nuklir Iran bisa membandingkan dua cetak biru untuk mengidentifikasi cacat dan kemudian mengumpulkan pengetahuan dari cetak biru tersebut.

Beberapa pihak menyebutkan, kegagalan Operasi Merlin sedikit banyak bisa menjadi awal Korea Utara juga mendapatkan teknologi nuklir.

Popular Mechanic yang mewancarai John Schilling, seorang insinyur kedirgantaraan yang mengkhususkan diri dalam propulsi roket menyebutkan, Korea Utara telah bekerja sama dengan Iran dan Pakistan dalam mengembangkan teknologi nuklir dan rudal di masa lalu.

Mereka juga mendapat bantuan personil teknis dan militer Rusia selama era Yeltsin.

Korea Utara secara resmi mengumumkan program senjata nuklirnya pada tahun 2002. Atau dua tahun setelah Operasi Merlin.

(ind/bbs)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews