Menelisik Imigran Pencari Suaka di Batam

Kami Pilih Batam, Kami Trauma Perang di Afghanistan

Kami Pilih Batam, Kami Trauma Perang di Afghanistan

Hussein bersama anak-anak imigran di Taman Aspirasi Jalan Engku Putri Batam Centre, Batam, Kepri (Foto: Batamews)

BATAMNEWS.CO.ID, Batam - Puluhan imigran asal Timur Tengah kini berdiam di Taman Aspirasi Jalan Engku Putri, Batam Centre, Batam, Kepri. Mereka terdiri dari orang dewasa serta anak-anak.

Mereka sudah berbulan-bulan tinggal di taman tersebut.

Bagaimana kehidupan mereka di tenda-tenda darurat itu? Benarkah mereka trauma akibat perang?

Batamnews.co.id mewawancarai beberapa imigran. Berikut wawancara khusus jurnalis batamnews.co.id, Margareth Nainggolan, dengan Khodim Hussein (20), seorang imigran pencari suaka asal Afghanistan serta Yahya, imigran asal Sudan:

 

Apa alasan Anda meninggalkan negara Anda dan mencari suaka?

Kami trauma peperangan di negara kami yang menakutkan.

 

Seperti apa peperangan di sana?

Kalau disuruh kembali saya tidak sanggup, peperangan di Afganistan sungguh menakutkan. Kami hidup dalam suasana yang mencekam. Setiap hari harus bersembunyi. Saya bahkan terpaksa meninggalkan kedua orangtua saya karena sudah tidak tahan.

 

Apa keinginan Anda saat ini?

Kalau kami bisa bekerja, kami dengan senang hati akan bekerja untuk menghidupi diri kami, namun aturan di Indonesia tidak memperbolehkan itu, makanya kami hanya bisa mengandalkan bantuan dari orang-orang saja.

 

Begitu juga yang dialami Yahya, imigran asal  Sudan. Ia juga beranggapan yang sama. Meskipun hidup di Indonesia sebagai imigran sangat sulit, namun ia memilih tetap  di Indonesia.

 

Kenapa Indonesia menjadi pilihan Anda?

Walaupun kehidupan menjadi imigran sangat sulit, tapi saya tetap memilih tinggal di Indonesia.

Baca juga:

Nasib Miris Anak-anak Imigran di Batam, Tidur di Tenda dan Kelaparan

 

Apa yang Anda rasakan di Sudan? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?

Ayah saya dan ibu saya meninggal akibat perang di Sudan, saudara saya setiap harinya harus bersembunyi, dan mereka hidup berpindah-pindah dari kota satu ke kota lain.

Yahya merasakan tinggal sebagai Imigran memang cukup memprihatinkan, namun hal tersebut merupakan pilihan yang paling aman dibandingkan harus kembali ke Sudan.

 

Apa yang ada dalam pikiran Anda saat ini?

Kami ikhlas hidup sulit seperti ini.  Di sana (Sudan) kami dihantui kematian yang tak terduga, sebagian saudara saya juga lagi mencari cara untuk keluar dari sana.

Para Imigran di Taman Aspirasi terdiri dari yang sudah berkeluarga, ada yang masih lajang dan remaja. 

Imigran di Taman Aspirasi hanya meminta pertolongan dari Indonesia, untuk menyediakan mereka tempat yang layak untuk berlindung dari dinginnya malam dan terik matahari siang.

 

Apa harapan Anda terhadap pemerintah Indonesia?

Kami tidak banyak permintaan, karena kami sadar kami sebagai pengungsi, namun tolonglah kami diberikan tempat yang ada atapnya, kalau lagi hujan kami hanya bisa berlindung dibawah terpal yang kondisinya sudah robek.

Imigran Taman Aspirasi hanya bisa hidup berdasarkan bantuan para dermawan, karena bantuan dari International Organization Migration (IOM) terputus.

Kini, mereka setiap malam harus tidur di lapangan terbuka tanpa atap. Sebagian terkadang memilih gedung DPRD Kota Batam untuk berlindung pada malam hari.

Tragis memang...

 

MARGARETH NAINGGOLAN

 

[snw]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews